𝑰𝒏𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒎𝒊, 𝒔𝒆𝒑𝒂𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒂𝒍 𝒈𝒖𝒏𝒖𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒐𝒍 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒕. 𝑷𝒆𝒏𝒋𝒖𝒂𝒍 𝒌𝒂𝒎𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒎𝒊𝒏 𝒌𝒖𝒂𝒍𝒊𝒕𝒂𝒔𝒏𝒚𝒂 𝒄𝒊𝒂𝒎𝒊𝒌. 𝑻𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒑𝒐𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒔𝒆𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖-𝒘𝒂𝒌𝒕𝒖 𝒑𝒆𝒎𝒂𝒌𝒂𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒌𝒆𝒋𝒂𝒓 𝒂𝒏𝒋𝒊𝒏𝒈.
Kami juga bisa diharapkan di situasi tertentu, seperti menggebuk mantan atau maling atau mantan maling, atau barangkali, maling mantanmu. Hal terbaiknya kami "Made in Indonesia".
Namun, kami sangat tak disarankan dipakai untuk menidurkan mayat hidup, meski sol kami keras dan jika digunakan untuk menimpuk kepala orang sangat mungkin membikin gegar otak.
Meskipun multiguna, kami ingin digunakan sepatutnya, sesuai kodrat--untuk melindungi telapak kaki dari kerikil tajam atau tai kuda. Biarlah kami, alas kaki, sejak zaman nabi hingga kini, yang menanggung seluruh kesembronoan manusia.
Dari banyak manusia di dunia, takdir mengantarkan kami pada Musa Bastara, lelaki bertampang kunyuk dan punya gaya berjalan lebih buruk dari penguin. Ia bukan pemilik asli kami, bukan juga ayahnya, tapi ayahnya mendapatkan kami dari seorang bernama Kurnia. Tak heran, setiap ada orang bertanya mengapa pada strap sendal tertulis nama Kurnia, bukan namanya atau nama ayahnya, ia selalu tak mampu menjawab.
Entah bagaimana pula sang ayah mau meminjamkan kami kepada si lelaki kunyuk itu, kami tak tahu persis. Seperti ayahnya tak tahu kami dipakai sang anak untuk mendaki bukit yang jalurnya sukar minta ampun.
Perlu dijelaskan; sebagai alas kaki, sebelah kiri atau kanan, otak kami bertaut meski tak pernah berjalan selaras. Kaki yang berayun saat berjalan membuat kami jarang, atau tak mungkin, bertemu ujung sama ujung. Jika diandaikan sejoli, kami jelas bukan pasangan serasi. Tapi betapapun begitu, kami saling melengkapi. Selain orang berpenyakit mental, siapa manusia yang tak malu berjalan dengan satu sendal?
Orang terakhir yang pernah mencoba berjalan dengan gerakan kaki satu dengan yang lain sejajar berujung terjerembab ke selokan. Kesembronoan seperti ini harusnya tak perlu dan terkadang kami merasa kasihan. Manusia yang berjalan sewajarnya tanpa bertingkah ceroboh pun masih rentan celaka. Ini karena sistem bipedalisme manusia itu payah. Karena itulah kami diciptakan. Perisai di segala jenis medan.
Si lelaki kunyuk itu (kami malas menyebut nama) memercayai kami, bukan sepatu Converse yang selalu ia bangga-banggakan itu, untuk jadi tukang kepruknya selama perjalanan.
Kami bisa dijamin menjaga dari apapun yang berpotensi melukai kaki. Tetapi betapa pendek akal si pemakai sebab mengandalkan kami untuk urusan mendaki bukit yang baru saja ditumpahi hujan deras. Meski kami dibuat untuk alasan-alasan seperti itu, sebetulnya ia dapat berpikir dua kali dan bukannya memaksakan ambisinya sekadar agar memenangkan taruhan (Baca tulisan sebelumnya).
Maka dari itu, menurut kami, manusia itu sembrono. Tapi apa daya, sebagai benda yang selalu patuh kepada kehendak si pemilik, meski dipakai buat mengusir biawak atau rentenir yang tampangnya mirip biawak, kami tak berdaya. Tak terkecuali saat diculik habis jumatan.
Sampai sini, barangkali anda, manusia, telah menemukan pesan moral. Belum? Mari lanjut.
Biar kami sebut bukit yang dituju itu; namanya Bukit Batu Batabang. Lokasinya di Kabupaten Banjar. Tak jauh dari sentra kota. Kami dengar ini dari bisik-bisik sebelum berangkat.
Lelaki berjalan mirip penguin dan jalan curam berkelir lumpur adalah kombinasi jitu untuk menciptakan peristiwa memalukan. Seperti duet Batman dan Robin Hood yang ujug-ujug tampil menawan, malah tampak jenaka karena kesandung jubah Ra's al Ghul.
Tapi orang ini, lelaki kunyuk ini, patut dipuji. Meski kami tahu, lagi-lagi dari bisik-bisik, ia baru mendaki dua kali (Pertama, Puncak Tiranggang. Kedua, Bukit Priangan), ia lihai menyeimbangkan tubuh. Ia sempat tergelincir beberapa kali tapi tak sampai terjungkal apalagi memeragakan jenis akrobatik lain. Mungkin kami salah mengira. Jalannya yang mirip penguin itu ternyata berguna di jalanan licin
Berbeda dengan Lana Kelana, temannya, yang jatuh beberapa kali karena memakai sendal Crocs. Nama belakangnya tak bisa diandalkan, sebab ternyata itu adalah pertama kalinya ia mendaki.
Ia mungkin adalah manusia paling sembrono yang pernah kami temui. Terlebih sendal Crocs itu, anjing, menimbulkan bunyi-bunyian aneh sepanjang perjalanan karena menapak di jalanan basah. Suara itu hanya bikin teman seperjalanan tertawa terpingkal-pingkal atau jengkel atau merinding sebab mengiranya isak tangis hantu.
Caranya berpakaian juga tak biasa. Orang yang sengaja mendaki dengan celana jins ketat sebaiknya dibius dengan dosis tinggi. Dan, alamak, kemeja yang dikenakannya hanya mempertegas bahwa ia tak tahu sama sekali tujuan dari perjalanan itu. Ia barangkali berpikir aktivitas memecut adrenalin yang dimaksud teman-temannya adalah bermain bumper cars atau arcade di Timezone.
Tapi orang-orang yang mendaki hari itu tak kalah aneh dan sembrono. Mereka yang memakai sepatu branded untuk mendaki gunung barang tentu mengidap narsistik akut. Meletakkan modis di atas segala-galanya, bahkan efesiensi dan efektifitas. Mungkin mereka mengira, di atas bukit sana, ada ajang peragaan busana.
Pulang dari mendaki (bukit atau gunung), terutama medan berlumpur, tak bisa menjamin semua kembali seperti sediakala. Pada kasus kami, alas kaki, misalnya, sol lepas, strap tercerabut, atau tak layak pakai lagi sehingga pantas dibuang ke keranjang sampah, merupakan keniscayaan.
Tapi itu risiko kami. Begitulah kami memang dicipta. Semua memiliki usia dan takdir masing-masing. Yang perlu manusia tahu, berjalan, mendaki, berlari, adalah laku yang tak pernah putus. Tanpa perlu diberitahu, manusia tahu fungsi dari berjalan untuk bergerak maju, berangkat, mencapai tujuan dan untuk berangkat lagi, meski tahu di depan, berdiri sejuta penderitaan. []
────୨ৎ────
Tentang penulis: Musa Bastara lahir di Gudang Hirang (?). Selalu percaya kamarnya adalah kamar paling rapi se-pasar Sabtu. Berusaha menguasai rahasia sembuh dari cacingan. Suka kopi sachet. Suka obrolan tentang sastra, film, gim, musik, combat sport, dan orang-orang antihero. Bisa disapa di Instagram @musabastara
Arkalitera menerima kiriman naskah berupa esai, cerpen, dan puisi dari para penulis dan pembaca yang budiman. Tulisan yang lolos kurasi akan kami terbitkan di website kami. Silakan kirim naskah ke: penerbitarkalitera@gmail.com


0 Komentar