Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

MARLITA, CERITA PENDEK RAFII SYIHAB

 


Marlita pergi ke pinggir sungai tempo hari, saat itu lakinya belum datang dari tambang, dan angin kemarau berembus membawa aroma busuk gambut yang rata memenuhi udara, jauh di hilir matahari pelan tenggelam dalam aliran sungai Riam Kiwa, dan semesta kuning benar hari itu, daun-daun kangkung yang tumbuh liar tanpa tuan tampak kuning pula, kerbau di seberang sungai, batu-batu, semuanya serupa dicelup dalam sekaleng cat kuning. Dan di sana, di kejauhan yang entah, lantunan ayat suci mengalun-alun dari radio masjid, tapi burung-burung tak singgah seperti cerita Daud, dan semut-semut tak menghentikan langkah, dan pucuk pohon tak membeku, dan setan dan hantu dan manusia yang serupa setan dan hantu dan yang tidak serupa keduanya tak pula diam memasang telinga. Pun Marlita, ia menerabas semak rendah, memilah rumput dan kangkung, memetik pucuk tergesa sebelum magrib tiba, sebelum lakinya datang dari tambang dan mengomel soal gaji dan perut yang lapar, sebelum kuning itu hilang dan langit berubah warna menjadi gelap sempurna. Sak-sak-sak. Ada langkah yang sembunyi-sembunyi di belakang, grasak-grusuk yang samar. Barangkali Si Habuk, pikirnya, makhluk gaib serupa mariaban peliharaan saudara neneknya yang turun temurun dikasih hidup oleh sepupunya sekarang. Ia tak takut, tentu saja. Telah sering ia melihat makhluk itu, tingginya mungkin dua meter, kuping besarnya seringkali melingkupi tubuh serupa selimut, ia berbulu seperti orang utan, wajahnya jarang terlihat, di hari-hari yang jauh ia dipelihara sebagai penjaga bagi tuannya, terutama saat perang di tahun-tahun sebelum kemerdekaan, namun sekarang tak ada perang, dan begitulah ia cuma mondar-mandir seperti si tua bangka yang habis pikir hendak berbuat apa. Di masa tuanya ini, kadang ia mencuri ikan gabus—itu makanan kesukaannya—bila tuannya lupa kasih makan, entah dari lemari pendingin atau dari kolam Pak Haji, kadang ia datang untuk memberi kabar kematian pada kerabat yang jauh, tapi sekarang toh ponsel sudah canggih dan pekerjaan tersebut makin jarang ia lakukan. Pada malam-malam tertentu tidak jarang ia duduk di pinggir sungai seorang diri seperti meratapi nasib atau menunggu ikan loncat ke mulut. Entahlah. Tak ada yang mengerti apa yang ia mau, ia memang bicara, tapi bahasanya bukan bahasa manusia—bila didengar, suaranya seperti mang yang keluar dari tenggorokan. Berat dan menakutkan. Barangkali makhluk itu kesepian, pikir Marlita, atau bisa jadi sekarang ia serupa manusia tua yang mulai didera pikun sehingga otaknya kembali ke kenakalan-kenakalan remaja. Apakah makhluk gaib pernah remaja? Ya, barangkali seperti. Umalah, kata Marlita, aku cucu Masiam, Buk ai, kada usah macam-macam. Tapi langkah itu tak pergi. Grasak-grusuk yang sama. Pelan-pelan mendekat seiring redupnya langit sore. Sak-sak-sak. Jantungnya berdegup-degup. Ada sesuatu di belakang sana, pikirnya, dan bukan Si Habuk. Ia menoleh cepat tapi tak menemukan apapun jua. Sesaat kemudian, saat azan magrib bersahut-sahutan dari pengeras suara ke pengeras suara lainnya, Marlita tehentak dan berteriak sejadi-jadinya, ia melemparkan bakul dan pucuk kangkung sebelum jatuh ke tanah. Teriakannya terhenti bahkan saat azan belum selesai, saat batok kepalanya dihantam begitu keras. Seseorang, atau sesuatu, menarik tubuhnya menjauh, makin menjauh. Dan di rumah, sepuluh menit berjalan kaki dari pinggir sungai itu, lakinya yang baru tiba menemukan Marlita sedang memasak kangkung di dapur. Tanpa bicara ia memeluk tubuh itu, tubuh kecil istrinya. Tak ada kata-kata, tak ada apa-apa. Dua tubuh saling memagut. Makin erat ketika dingin menusuk melewati celah dinding, melewati celah pintu, melewati lekuk-lekuk tubuh keduanya. Sementara di luar, dekat sekali, ada bunyi asing yang berulang-ulang terdengar: mang, mang, mang.[]

Rafii Syihab: Menulis cerpen dan esai sesekali. Aktif berkomunitas di Arkalitera dan Kampung Teater.


1 Komentar