Marlita pergi ke pinggir sungai tempo hari, saat
itu lakinya belum datang dari tambang, dan angin kemarau berembus membawa aroma
busuk gambut yang rata memenuhi udara, jauh di hilir matahari pelan tenggelam
dalam aliran sungai Riam Kiwa, dan semesta kuning benar hari itu, daun-daun
kangkung yang tumbuh liar tanpa tuan tampak kuning pula, kerbau di seberang
sungai, batu-batu, semuanya serupa dicelup dalam sekaleng cat kuning. Dan di
sana, di kejauhan yang entah, lantunan ayat suci mengalun-alun dari radio
masjid, tapi burung-burung tak singgah seperti cerita Daud, dan semut-semut tak
menghentikan langkah, dan pucuk pohon tak membeku, dan setan dan hantu dan
manusia yang serupa setan dan hantu dan yang tidak serupa keduanya tak pula
diam memasang telinga. Pun Marlita, ia menerabas semak rendah, memilah rumput
dan kangkung, memetik pucuk tergesa sebelum magrib tiba, sebelum lakinya datang
dari tambang dan mengomel soal gaji dan perut yang lapar, sebelum kuning itu
hilang dan langit berubah warna menjadi gelap sempurna. Sak-sak-sak. Ada
langkah yang sembunyi-sembunyi di belakang, grasak-grusuk yang samar.
Barangkali Si Habuk, pikirnya, makhluk gaib serupa mariaban peliharaan saudara
neneknya yang turun temurun dikasih hidup oleh sepupunya sekarang. Ia tak
takut, tentu saja. Telah sering ia melihat makhluk itu, tingginya mungkin dua
meter, kuping besarnya seringkali melingkupi tubuh serupa selimut, ia berbulu
seperti orang utan, wajahnya jarang terlihat, di hari-hari yang jauh ia
dipelihara sebagai penjaga bagi tuannya, terutama saat perang di tahun-tahun
sebelum kemerdekaan, namun sekarang tak ada perang, dan begitulah ia cuma
mondar-mandir seperti si tua bangka yang habis pikir hendak berbuat apa. Di
masa tuanya ini, kadang ia mencuri ikan gabus—itu makanan kesukaannya—bila
tuannya lupa kasih makan, entah dari lemari pendingin atau dari kolam Pak Haji,
kadang ia datang untuk memberi kabar kematian pada kerabat yang jauh, tapi
sekarang toh ponsel sudah canggih dan pekerjaan tersebut makin jarang ia
lakukan. Pada malam-malam tertentu tidak jarang ia duduk di pinggir sungai
seorang diri seperti meratapi nasib atau menunggu ikan loncat ke mulut.
Entahlah. Tak ada yang mengerti apa yang ia mau, ia memang bicara, tapi
bahasanya bukan bahasa manusia—bila didengar, suaranya seperti mang yang
keluar dari tenggorokan. Berat dan menakutkan. Barangkali makhluk itu kesepian,
pikir Marlita, atau bisa jadi sekarang ia serupa manusia tua yang mulai didera
pikun sehingga otaknya kembali ke kenakalan-kenakalan remaja. Apakah makhluk
gaib pernah remaja? Ya, barangkali seperti. Umalah, kata Marlita, aku
cucu Masiam, Buk ai, kada usah macam-macam. Tapi langkah itu tak pergi.
Grasak-grusuk yang sama. Pelan-pelan mendekat seiring redupnya langit sore.
Sak-sak-sak. Jantungnya berdegup-degup. Ada sesuatu di belakang sana, pikirnya,
dan bukan Si Habuk. Ia menoleh cepat tapi tak menemukan apapun jua. Sesaat
kemudian, saat azan magrib bersahut-sahutan dari pengeras suara ke pengeras
suara lainnya, Marlita tehentak dan berteriak sejadi-jadinya, ia melemparkan
bakul dan pucuk kangkung sebelum jatuh ke tanah. Teriakannya terhenti bahkan
saat azan belum selesai, saat batok kepalanya dihantam begitu keras. Seseorang,
atau sesuatu, menarik tubuhnya menjauh, makin menjauh. Dan di rumah, sepuluh
menit berjalan kaki dari pinggir sungai itu, lakinya yang baru tiba menemukan
Marlita sedang memasak kangkung di dapur. Tanpa bicara ia memeluk tubuh itu,
tubuh kecil istrinya. Tak ada kata-kata, tak ada apa-apa. Dua tubuh saling
memagut. Makin erat ketika dingin menusuk melewati celah dinding, melewati
celah pintu, melewati lekuk-lekuk tubuh keduanya. Sementara di luar, dekat
sekali, ada bunyi asing yang berulang-ulang terdengar: mang, mang, mang.[]
Rafii Syihab: Menulis cerpen dan esai
sesekali. Aktif berkomunitas di Arkalitera dan Kampung Teater.


1 Komentar
Keren Ka Raffi. Selalu suka dengan karyanya.
BalasHapus