Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

"MAIN-MAIN PUISI" ALA PENYAIR: UPAYA MENAFSIR KUMPULAN PUISI "TUHAN TIDAK TIDUR ATAS DOA HAMBA-NYA YANG BEGADANG" KARYA MAULIDAN RAHMAN SIREGAR




 

Judul Buku: Tuhan Tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang

Penulis: Maulidan Rahman Siregar

Penerbit: Erka (CV. Rumahkayu Pustaka Utama), Padang

Cetakan: I, Februari 2018

Tebal: x + 90 hlm (66 puisi)

ISBN: 978-602-6506-85-6

Desain Sampul: Tomi Halnandes F

Maulidan Rahman Siregar  menghidangkan pelbagai hal remeh-temeh di keseharian, mengemasnya dalam pilihan diksi yang tidak membuat pusing pembaca. Maulidan memancing daya pikat pembaca dengan puisi-puisinya yang bernada humor, bahkan cenderung cair secara kebahasaan. Meskipun terkesan cair dalam kebahasaannya, Maulidan justru leluasa memanfaatkan situasi tersebut menjadi realita baru yang diolahnya dengan tokoh aku-lirik bernama Hesti.

Selain terdiri dari kalimat-kalimat pendek yang diselingi dengan humor tertentu, Maulidan mengajak pembaca sejenak berpiknik dalam kesusastraan "santuy" versi aku-lirik tokoh Hesti.  Hesti dalam puisi-puisi Maulidan ditempatkan sebagai aku-lirik yang bebas memaknai realitas di sekelilingnya, dan tentu masih dalam koridor "main-main puisi" yang dibuat oleh Maulidan.

"Main-main puisi" yang dilakukan Maulidan, barangkali, semacam alternatif bagi puisi-puisi yang serius, dengan sejumlah diksi yang acapkali njlimet dan bikin kening berkerut-kerut. Maulidan membuat jembatan kepada para pembacanya melalui aku-lirik Hesti di hampir keseluruhan buku ini, sehingga bisa saja pembaca menafsir-nafsir, alternatif seperti apakah yang sebenarnya sedang dilakukan dan diupayakan oleh Maulidan ini. Berikut saya kutipkan beberapa puisi yang mengangkat sosok aku-lirik Hesti,

HESTI BULAN JUNI

Hesti tak pernah jadi abadi

Tak pernah selesai ditulis

Puisi selalu ada kurangnya

Lagu-lagu nyaring kali sumbangnya

Cerpen makin panjang-panjang

Novel selesai pada bab dua

Buku-buku dijual murah

Sudah murah, tetap tak laku

Pustaka sepi pengunjung

Kampus cuma bikin sarjana! Ya, Tuhan.

 

Seseorang, mencoba menangkap Hesti

Dalam gambar, yang tampak cuma hidungnya

Seorang lain, mengubur Hesti jauh ke tanah

Yang mati cuma jasadnya.

 

Hesti ada ketika tak ada

Hesti kilau dalam gelap buta

Hesti akan menikahi sibukmu

Hesti akan tenggelamkan laparmu.

Mintalah Hesti untuk kembalikan

Surga ke atas sana, dan berlindunglah

Dari kedipannya!

 

Juni, 2017

 

"Hesti Bulan Juni" mengetengahkan wacana yang cukup beragam, seperti "kampus cuma bikin sarjana", "puisi selalu ada kurangnya", "cerpen makin panjang-panjang", dst. Ketika membaca pertama kali puisi ini, saya sebagai pembaca justru mengira Maulidan hanya berfokus pada sosok Hesti, tapi rupanya dia membuat ruang-ruang lain dalam puisinya untuk mengutuhkan dunia yang terbangun dalam puisi. Maulidan leluasa mengolah pelbagai perspektif dalam puisinya, lalu membenturkan perspektif tersebut dengan aku-lirik Hesti, sehingga puisinya bisa mengundang tafsir yang bermacam-macam di kepala pembaca.

 

Hesti Mandi

 

Karena hanya dalam puisi

Bisa bertemu Hesti

Aku sembunyi, sepenuhnya lari

Dari semua yang menyebabkan mati.

 

Hesti puisi, selamanya begitu

Wajahnya tak bisa ditangkap

Oleh bunyi. Senyumnya kilau cahaya

Allohu Akbar. Allohu Akbar!

 

Terpingkal aku di sudut

Mimpi, mau berlari tapi tak jadi.

Hesti, Allohu rabbi!

 

Pada hari baru kujumpa

Hesti, sedang mandi.

Tidak pakai apa-apa.

Tidak bawa siapa.

Hesti, Allohu rabbi!

 

Hesti tersenyum

Alangkah teduh.

Mungkin karena malu,

Hesti pakai baju.

Tapi Hesti tidak pakai celana!

 

Hesti, Allohu rabbi!

 

Hesti yang mandi melompat

Ke mimpi. Berkali-kali. Aku

girang, semua pada berdiri,

"Kita akan nyanyi kebangsaan

di kamar mandi."

 

Alangkah, amboi, Mak oi.

Orang-orang tak mau berdiri.

 

Hesti ambil bagian, memimpin nyanyi.

"Mari pulang. Marilah pulang.

Mimpi adalah urusan masing-masing."

 

Hesti iseng kembali.

Hesti tertidur di dalam mimpinya

Tidak jadi baca puisi dan nyanyi

Sambil mandi.

 

2017

 

Sepintas dibaca tampak vulgar, namun Maulidan membuat siasat dalam hal itu, agar puisinya tidak mengumbar seksualitas belaka. Hal ini bisa dicermati pada larik "Hesti tertidur di dalam mimpinya, tidak jadi baca puisi dan nyanyi di kamar mandi". Sebuah suspense. Setelah sebelummya Maulidan menulis begini, "Hesti pakai baju, tapi Hesti tidak pakai celana!". Maulidan mampu menyublimkan yang vulgar dengan siasat lain agar puisinya tidak mengumbar hal itu secara berlebihan.

 

Hesti Dalam Lagu

 

Puisi akan selalu Hesti.

Hesti boleh dangdut, boleh pop

Boleh mendadak religi

Tapi yang pasti

Hesti tak 'kan terganti

Hesti tak'kan mati.

 

Internet boleh tak ada

Kabel-kabel juga tak perlu

Dalam doa dan lagu-lagu

Hesti akan di-remix

Untuk peretas rindu

Untuk pengukur jarak.

 

Sekali lagi,

Hesti tak'kan mati

Oleh kata-kata begini

Hesti mantap jiwa

subhanallah wa ta'ala.

Ketaping, 3 Januari 2017

"Hesti Dalam Lagu" adalah satu dari beberapa puisi Maulidan dalam buku ini yang paling saya suka. Aku-lirik tidak sebatas difungsikan sebagai tokoh yang hadir bercerita, tetapi justru difungsikan sebagai "doa dan lagu-lagu", yang artinya, Hesti di puisi ini bukan lagi tokoh an sich nya, melainkan unduhan lagu atau pun doa-doa yang dilantunkan penyair dalam kesehariannya. "Hesti akan di-remix, untuk peretas rindu, untuk pengukur jarak"(Hesti yang selalu hidup dalam lakuannya sebagai tokoh, dalam puisi ini justru menjelma "peretas rindu", "pengukur jarak", serta "doa dan lagu-lagu"),  Maulidan sebagai si penyair yang membuat dunia rekaan ini tidak begitu ambil pusing apakah puisinya ini berterima dalam pemaknaan kaum pembaca.

Pada akhirnya, yang "Puisi akan selalu Hesti", dan "boleh mendadak religi". Puisi berupaya menempatkan diri di antara riuh-rendah peristiwa, terutama berkaitan dengan isu-isu sosial(dalam Maulidan, dapat dibaca melalui tokoh Hesti). Puisi senantisa berupaya memancing daya gugah pembaca terhadap seluk-beluk yang dikandungnya, "Hesti tak'kan terganti, Hesti tak 'kan mati"( puisi, dalam hal ini, juga selalu berupaya mencari kemungkinan-kemungkinan baru dalam hal pengucapan tema, bentuk, atau pun perspektif lain dalam membaca dan menafsir realitas).

 

Muhammad Daffa : Penyair kelahiran Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 1999. Menulis puisi sejak pertengahan tahun 2015-sekarang. Puisi-puisinya tersiar di koran Tempo, Majalah Mata Puisi, Majalah Sastra Kandaga, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, dan lain-lain. Bergiat di Kelas Puisi Bekasi. Buku tunggalnya: Talkin (2017) dan Suara Tanah Asal (2018). Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa aktif di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya.

0 Komentar