Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

Ikhlas Elqasr, di Balik Puisi Ia Bersembunyi


Ikhlas Elqasr merupakan nama beken dari seorang penulis muda kelahiran Sungai Pinang Baru 29 tahun silam. Nama aslinya adalah Ikhlas. Ya, Ikhlas saja. Saya sendiri lupa menanyakan dari mana ia mendapat tambahan Elqasr atau makna dari kata tersebut.

Perkenalan Ikhlas dengan dunia kepenulisan tidak jauh dari buku. Novel-novel karya Buya Hamka ia akui sebagai pemantiknya dalam menulis. Kata-kata “wah” yang banyak ia temukan di dalam buku-buku tersebut membuatnya tersayat hingga tertarik untuk merangkai frasa-frasa dan kalimat-kalimatnya sendiri. Pada mulanya, ia menulis kutipan-kutipan, lalu puisi dan cerpen. Namun, Ikhlas merasa lebih lapang dan diterima justru ketika ia menghasilkan puisi.

Pemuda asli Banjar ini mengaku mulai aktif menulis puisi sejak 2018 silam. Dan, hanya dalam kurun waktu dua tahun, ia sudah bisa menerbitkan buku kumpulan puisi pada tahun 2020. Buku puisi karyanya berjudul Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu, buku yang tidak terlalu terkonsep karena dadakan, katanya, tetapi mendapat respon baik dari kawan-kawan dan pembaca. Buku tersebut terbit secara gratis karena ia berhasil memenangi lomba menulis di sebuah blog. Buku pertamanya itu bahkan pernah dibedah oleh salah satu media daring lokal, apahabar.

Menulis puisi, bagi alumni Pendidikan Sejarah ULM ini membuat ia merasa nyaman. Sebagaimana yang ia ujarkan ke dalam pesan di jejaring WhatsApp sewaktu kami menghubunginya. Proses menulis puisi, menurut Ikhlas, mengandung katarsis dari hal apa pun yang bisa dikeluarkan agar mendapat kelegaan secara emosional. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa puisi mengandung kontemplasi tentang hidup dan kehidupan, apa yang telah, apa yang akan, apa yang seharusnya, dan apa tujuannya, agar kita mendapat kebulatan pikiran, menemukan diri ada dan fana secara bersamaan.

Namun, karena kesibukannya sekarang, ia hampir tidak memiliki waktu untuk menulis. Ikhlas yang saat ini berdomisili dan bekerja di Satui, Tanah Bumbu, mengaku hanya mampu menulis sekali dalam seminggu. Untuk seseorang yang baru aktif menulis sejak 2018, sebenarnya Ikhlas bisa disebut cukup produktif. Puisi-puisinya banyak terpatri di blog keroyokan naungan Kompas Gramedia, Kompasiana. Pada tahun 2019 hingga 2020, Ikhlas bahkan bisa menerbitkan 3 sampai 4 tulisan dalam seminggu.

Puisi-puisi Ikhlas yang cukup kental akan romantisme dan kesedihan sedikit banyak dipengaruhi oleh Nizar Qabbani. Seperti yang diakui olehnya sendiri bahwa sosok tersebut, bersama Neruda adalah kiblatnya dalam berpuisi. Untuk penyair lokal, Ikhlas tidak ragu untuk menyebut Aan Mansyur, Gunawan Maryanto, Umbu Landu, Gunawan Muhammad, dan Adimas Immanuel sebagai penyair yang ia sukai.

Selain dalam buku antologi tunggalnya serta di Kompasiana, karya-karya Ikhlas Elqasr juga cukup banyak terhimpun dalam buku-buku antologi bersama seperti buku antologi Aruh Sastra, Rainy Day Literary Festival, dan lain-lain.

Berikut beberapa Puisi Ikhlas Elqasr yang bisa kami tuliskan:


DAPUR IBU

 

sudah nyaris tiga jam saya mendekam

di antara pagar-pagar malam yang kesepian

perut saya keroncongan

sedang dapur melompong

:menanak kekosongan

 

saya berdiri

tapi ibu masih mematung

kehabisan persediaan kata-kata

untuk saya lahap dalam keheningan

 

saya berjalan

tapi tidak menuju ke mana-mana

ada banyak tempat yang dingin

menyimpan beragam rindu yang berangin

 

saya berlari

tapi kepala saya tertinggal di rumah tua

dan di sawah-sawah yang menguning

tempat di mana bibir ibu tersungging

melihat saya lahir dan berlarian

tanpa sempat mengetahui bagaimana doa-doanya

tumbuh remaja dan berkembang

 

saya meringkuk

tapi pikiran saya berkecamuk

dan perut saya kini menggigil

dirundung kenang yang memanggil

sedang dapur ibu masih menyala

tapi tidak lagi menyediakan makanan apa-apa

Angsana, 2020

 

DERMAGA

Angin malam menyimpan begitu banyak perjalanan

berembus dan meniup

membawa desau kepulangan dan kepergian

juga sebentuk musim

yang gigil dari seberang

 

Dan di tepian ini

tak kutemukan lagi dirimu

dermaga yang dingin

hanya melarungkan buih-buih

lalu pecah dan menghilang di permukaan

 

Layaknya puisi

lautan juga menjadi tempat teraman

bagi kegamangan seseorang

untuk berbagi riak paling rahasia

yang limbung di kepala

 

Aku seperti ikut terapung

mengisahkan kapalmu berlabuh

mengarungi samudra

dan menambat sekian dermaga

tanpa ada aku di sana

 

Lantas di dadaku yang masih ombak

hanya kau anggap sebagai kecipak sunyi

dari pulau-pulau tak berpenghuni

juga jejak yang tertinggal dan hanyut

tapi tak menuju ke mana-mana

aku lagi-lagi mendapati diriku

terhempas ke dalam badai yang sama

 

Berlayarlah yang jauh

seperti lampu-lampu redup di tengah lautan

hingga hilang sesaat sebelum pagi akan datang

barangkali dengan begitu aku akan melupa

tapi dermaga ini masih akan terus meriuhkan dirimu

sebagai amsal tak terbatas

yang lepas dari peluk seorang aku

Satui, 2021

 

DI TERMINAL PASAR HANYAR

 

di terminal Pasar Hanyar, kala itu

aku menunggumu di antara gemuruh kaki lima

tawar-menawar harga

jalanan sesak

dan gedung-gedung yang tak bernyali

 

udara lebih panas dari biasanya

matahari seperti tak bersahabat

gerombolan awan begitu cepat berlaluan

menyeret tubuh teduhnya

dan debu-debu bertebaran

tak kenal arah

 

aku berdiri menyilangkan kaki

dengan sebatang rokok yang belum tersulut api

sesekali aku membuka gawai

dan mulai berpikir keras

mencari kata-kata apa yang akan kukirimkan untukmu

tapi berkali-kali aku menghapusnya

 

tempat parkir masih terlalu ramai

tapi saat kamu keluar dari kerumunan itu

aku selalu bisa mengenalimu

seperti biasa, aku akan melambaikan tangan

sebagai penanda angkotku masih butuh penumpang

dan memang akan selalu ada kursi kosong;

jika itu untukmu

 

tapi kamu melambai ke arah yang berlainan

seseorang keluar dari mobilnya, menghampirimu

kamu seperti malu-malu untuk tersenyum

tangan kanannya membawa barang belanjaan

dan tangan kirinya memetik jemarimu

 

di terminal Pasar Hanyar

langit mendadak hujan bara

dan aku terbakar di bawahnya

lalu mobil itu melaju

dan sesaat kemudian menghilang

ditelan pekat jalanan

 

Satui, Januari 2022

1 Komentar

  1. Owh kalian hebat, yang menulis dan yang ditulis sama hebatnya dalam berpuisi

    BalasHapus