Kassandra
demi perut rakus orang-orang kota juga
kota-kota yang selalu sibuk, jangan
bangunkan aku bila matahari masih condong
ke kanan, jangan bangunkan aku
berabad-abad lalu tak ada seorang pun percaya
pada apa yang kau katakan tentang masa nanti
tentang mimpi jadi mala, tak ada yang percaya, Kassandra
tapi di kedai kopi ini setelah berabad-abad kemudian
kau pun bakal tak percaya pada omong kosong
dan kata-kata yang terlalu sempurna buat dipercaya
kata-kata, sebagaimana puisi,
cuma sanggup melayang tinggi
menembus langit yang kian pasi
lalu setelahnya menjadi tak penting lagi
kau pun tahu itu, Kassandra
sungguh, kau tahu itu
bila sebentar lagi aku pulang tertidur nyenyak
dan tak dibasahi mimpi, jangan biarkan Lamia,
perempuan telanjang berkaki ular turun dari bukit
hanya untuk menjilati dua daun telingaku
jangan biarkan agar aku tak akan pernah peduli
pada mimpi dan masa nanti yang telah dibentengi
kutukan
pada pikiran yang berlapis
sebab aku percaya segalanya
tak pernah ada
/2019
Kepada Ranying Hatalla Langit
Kaharingan adalah hidup
dan di bumi aku dibekali
keyakinan
demi kau, Hatalla
aku percaya pada hidup ini
hanya karena kau
segala yang menyertainya
telah membikin aku
kian jauh dari hidup
Ranying Hatalla Langit,
mestikah aku percaya pada hidup ini?
(hidup, apakah kau masih tertawa?)
meski dalam kamar ini
meski tak lagi bisa
sudah lama aku kehilangan
airmata, dengan tertawa
aku merasa ada dan memiliki
hanya dengan tertawa
/2019
Narkissos
di dalam cermin, kulihat rambutku
seperti hujan atau jalan lapang malam hari
bibirku sedang berusaha menafsir
kedalaman dua gua di atasnya
mataku masa nanti yang merah
di hadapan cermin aku mencengkeram kepala
sebab dalam kepalaku gampang pecah segala
kususuri garis leher, lengkung punggung
ke pinggang hingga punggung kakiku, kokoh!
dan tiba-tiba ingat aroma hangat rahim ibu
kecut keringat ayah
tungkai kakiku tangkai pohon Alaban muda
sebelum jadi kayu bakar, ada serimbun semak
dan aku membayangkan kau kembali jadi rahim
/2017-2019
Meratus, Diogenes, Meratus
dari sinope ke athena, dari athena ke korintus
dan korintus mengantarkanmu ke liang maut
seperti konikus kau diusir dari kotamu,
tapi di sini kau kuberi nama si anjing
suka menyalak: sekarat didera sinisme akut
mengapa, mengapa kau menolak
ketika kutawarkan sekendi tuak?
maka kuseret tubuhmu ke kotaku
dan kenanglah Sampit, lihat dan rasakan
perih Meratus nyaris terkelupas dari kulitku
dengarlah isak pohon menahan gunung
hendak tercerabut dari pangkal, kulit pohon
terpaksa mengelupas bagai garu
hilang aroma wangi terlecut mimpi yang haru
alangkah menyedihkannya nasib manusia
di lembah Meratus, seekor macan
mengenakan kaus bertuliskan #savehuman
hidup tak lagi sanggup menyelamatkanmu
dari sekarat, tuak sudah tandas berjuta-juta kendi,
gairah telah terbang meninggalkan tubuhku
serupa kapuk pada tilam lapuk berjemur
di bawah sengat matahari dan dunia meleleh
di jalan raya—disapu angin dari Jakarta
pada kehendak yang kian menggila ini, Diogenes
pikiran tak lagi berarti, kata yang memang sejak mula
tak punya makna kini semakin retak—keduanya, aku kira
akan hancur melebihi kehancuran nilai dan mata uang
yang membuat kau terusir dari asal-usulmu
sekarang, di manakah kau sembunyikan ari-arimu?
/2019
Abdul Karim, Lahir di Murung Raya, Kalimantan Tengah. Belajar menulis puisi, cerpen, dan artikel.


0 Komentar