Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

PUISI-PUISI ABDUL KARIM

 

Ilustrasi gambar: Rafii Syihab


Kassandra 


demi perut rakus orang-orang kota juga

kota-kota yang selalu sibuk, jangan

bangunkan aku bila matahari masih condong

ke kanan, jangan bangunkan aku


berabad-abad lalu tak ada seorang pun percaya

pada apa yang kau katakan tentang masa nanti

tentang mimpi jadi mala, tak ada yang percaya, Kassandra

tapi di kedai kopi ini setelah berabad-abad kemudian

kau pun bakal tak percaya pada omong kosong

dan kata-kata yang terlalu sempurna buat dipercaya

kata-kata, sebagaimana puisi,

cuma sanggup melayang tinggi

menembus langit yang kian pasi

lalu setelahnya menjadi tak penting lagi


kau pun tahu itu, Kassandra

sungguh, kau tahu itu


bila sebentar lagi aku pulang tertidur nyenyak

dan tak dibasahi mimpi, jangan biarkan Lamia,

perempuan telanjang berkaki ular turun dari bukit

hanya untuk menjilati dua daun telingaku


jangan biarkan agar aku tak akan pernah peduli

pada mimpi dan masa nanti yang telah dibentengi

kutukan 


pada pikiran yang berlapis

sebab aku percaya segalanya

tak pernah ada


/2019


Kepada Ranying Hatalla Langit


Kaharingan adalah hidup

dan di bumi aku dibekali

keyakinan  


demi kau, Hatalla

aku percaya pada hidup ini 

hanya karena kau


segala yang menyertainya

telah membikin aku

kian jauh dari hidup


Ranying Hatalla Langit,

mestikah aku percaya pada hidup ini?

(hidup, apakah kau masih tertawa?)


meski dalam kamar ini

meski tak lagi bisa

sudah lama aku kehilangan

airmata, dengan tertawa

aku merasa ada dan memiliki

hanya dengan tertawa


/2019


Narkissos


di dalam cermin, kulihat rambutku

seperti hujan atau jalan lapang malam hari

bibirku sedang berusaha menafsir

kedalaman dua gua di atasnya

mataku masa nanti yang merah


di hadapan cermin aku mencengkeram kepala

sebab dalam kepalaku gampang pecah segala


kususuri garis leher, lengkung punggung

ke pinggang hingga punggung kakiku, kokoh!

dan tiba-tiba ingat aroma hangat rahim ibu

kecut keringat ayah


tungkai kakiku tangkai pohon Alaban muda

sebelum jadi kayu bakar, ada serimbun semak

dan aku membayangkan kau kembali jadi rahim


/2017-2019


Meratus, Diogenes, Meratus 


dari sinope ke athena, dari athena ke korintus

dan korintus mengantarkanmu ke liang maut

seperti konikus kau diusir dari kotamu,

tapi di sini kau kuberi nama si anjing

suka menyalak: sekarat didera sinisme akut


mengapa, mengapa kau menolak

ketika kutawarkan sekendi tuak?

maka kuseret tubuhmu ke kotaku


dan kenanglah Sampit, lihat dan rasakan

perih Meratus nyaris terkelupas dari kulitku

dengarlah isak pohon menahan gunung 

hendak tercerabut dari pangkal, kulit pohon

terpaksa mengelupas bagai garu 

hilang aroma wangi terlecut mimpi yang haru

alangkah menyedihkannya nasib manusia


di lembah Meratus, seekor macan 

mengenakan kaus bertuliskan #savehuman

hidup tak lagi sanggup menyelamatkanmu 

dari sekarat, tuak sudah tandas berjuta-juta kendi,

gairah telah terbang meninggalkan tubuhku

serupa kapuk pada tilam lapuk berjemur 

di bawah sengat matahari dan dunia meleleh

di jalan raya—disapu angin dari Jakarta


pada kehendak yang kian menggila ini, Diogenes

pikiran tak lagi berarti, kata yang memang sejak mula

tak punya makna kini semakin retak—keduanya, aku kira

akan hancur melebihi kehancuran nilai dan mata uang

yang membuat kau terusir dari asal-usulmu


sekarang, di manakah kau sembunyikan ari-arimu?


/2019 


Abdul Karim, Lahir di Murung Raya, Kalimantan Tengah. Belajar menulis puisi, cerpen, dan artikel.

0 Komentar