Tambuk.
Satu-satunya hal yang dapat menyadarkannya,
meski dengan cara yang buruk, dari situasi celaka itu adalah bahwa tepat di
hadapannya, beberapa jengkal saja, tergeletak tubuh kawannya yang mampus tak
berdaya dengan luka tembak menganga tepat di dada. Dan dengan itu kesadarannya
telah kembali penuh, meski tidak cukup waras. Lelaki itu ingat kawannya yang
mati, hari-hari sebelum mereka pergi ke hutan Warihin, yang mengatakan bahwa
kijang emas benar ada dan harus ditemukan agar nasib buruk keduanya dapat
berubah jadi lebih baik. Memang benar. Di desa, kabar soal keberadaan kijang
emas sudah jadi dongeng rakyat turun temurun, orang-orang percaya makhluk itu
ada, tetapi tidak ada bukti yang dapat membenarkan keberadaannya. Di luar
berita kesaktian dan fungsi guna tanduk kulitnya untuk jimat-jimat, kijang itu
langka belaka—untuk tak menyebutnya mustahil ditemukan—dan pasti, kata kawannya
yang mati, harganya mahal.
Dan harganya memang mahal: sebuah
nyawa. Lelaki itu dan kawannya yang mati berangkat pada pagi minggu dengan
bekal cukup seminggu. Tadi malam—atau malam sebelumnya, ia tidak dapat
mengingat hari dengan baik setelah goncangan batin itu—setelah menyusuri hutan
Warihin dengan sinapang barajak yang
siap ditembakkan kapan saja, mereka menemukan karacak kaki kijang yang dalam di sebuah lembah berlumpur, ini dia,
kata kawannya yang mati, nyata dah
kijang emas. Mereka menyusuri telapak kaki tersebut hingga malam luruh dan
cahaya bulan remang menembus daun-daun hutan. Keduanya berjalan was-was. Dingin
menyergap. Dan tiba-tiba sesuatu yang tipis berkilauan di antara batang mati,
berpindah cepat dari satu tempat ke tempat lain. Itulah kijang emas yang mereka
cari. Kepercayaan yang lama tak berbukti. Mereka sembunyi di balik pohon, dan
kijang itu mendekat patuh, berkilau seperti sihir, sebelum letup senjata
menembus kegelapan dan gemanya tidak hilang hingga beberapa detik kemudian.
Lelaki itu cukup yakin bahwa
tembakannya mengenai si kijang emas, tetapi entah mengapa peluru seperti
terpantul. Orang bilang kijang emas kebal terhadap peluru, bisa saja itu benar,
sebab itulah yang terjadi. Kawannya yang mati turut menembak dan hal yang sama
juga terjadi. Si kijang emas mengamuk-menghantam mereka, yang mana keduanya
dibuat terpental-terpencar di hutan tersebut. Sinapang barajak tidak mudah digunakan untuk situasi kacau macam
begitu, pemiliknya harus lebih dulu memasukkan sabut kelapa dari ujung
larasnya, dirajak kuat-kuat dengan
sebilah besi agar padat, lalu mesiu, lalu sabut kelapa lagi. Dalam satu kali
usaha menembak, kijang emas berlesatan bagai cahaya kilat menghantam mereka
satu demi satu. Mereka terpisah. Tanduk lurus kijang emas menghantam
berganti-ganti. Pada satu waktu, di balik semak kumpai japang, lelaki itu melihat si kijang emas diam sesaat, cukup
empuk untuk ditembak dari jarak tersebut. Dan ia menembaknya. Dan itu tepat
sasaran, setidaknya ia pikir begitu.
Tambuk.
Ia mendengar
umpatan itu keluar. Bukan dari dirinya. Lelaki itu tentu mengira kijang emas
dapat bicara, dan tetap teguh pada kebanggaan sesaat sebab berhasil menaklukan
keparat itu. Tetapi seberkas cahaya
kuning menyerangnya membabi-buta, sehingga ia harus kabur dari tempat tersebut
dengan pikiran kacau, lari tanpa henti hingga kilau pagi pecah di langit timur.
Keesokan harinya ia mencari
tempat itu lagi, berputar-putar di belantara hutan hingga sehari suntuk sebelum
akhirnya menemukan kawannya yang mampus dengan luka tembak di dada, persis di
tempat yang sama ia menembak si kijang emas. Ia menangis—laki-laki tentu boleh
menangis jika tanpa sengaja membunuh seorang kawan—dan tidur, atau mungkin
pingsan, dan bangun pagi berikutnya dengan air mata yang kering.
Apa boleh buat, didera kesedihan
yang panjang, lelaki itu mengburkan kawannya dengan cara yang paling sederhana
sambil terus berpikir sebentuk alasan paling masuk akal untuk orang-orang di
desa mengapa lepas dari hutan ini ia hanya balik seorang diri. Ia berpikir
mungkin baiknya ia katakan bahwa kijang emas membawa kawannya yang mati ke
dalam hutan, dan lelaki itu kembali untuk mengajak orang-orang
mengambil-membalas dendam atas perkara tersebut. Benar. Itu cukup masuk akal.
Dan begitulah ia melangkah keluar
dari hutan Warihin, menyusuri anak sungai Batu Kajang jauh ke hilir, ke
Mantalikit. Dari sana ia berjalan lurus selurus arus batang banyu sampai ke desa.
Lalu akhirnya,
ketika lelaki itu tiba dengan raut muram yang larut dalam kesedihan karena
seekor binatang yang diburu tak bakal cukup dihargai dengan nyawa seorang
kawan, ia melihat kawannya yang mati, tegap berdiri menyambutnya di pelataran
rumah dengan sesimpul senyum yang tak pelak membuatnya terhenyak dengan
setumpuk pertanyaan.
“Kijang itu berwarna emas, ya?”
ia menujuk sinapang barajak yang
lelaki itu bawa.
“Tidak mungkin,” ia berkata,
canggung dan bingung, “Oh bukan, maksudku tidak. Bukan itu. Warnanya memang
emas. Kijang itu, kan?”
Kawannya yang ia kira telah mati
itu mengangguk. Masalah tersebut nampak sudah selesai di sana, tetapi selama
bertahun-tahun kemudian lelaki itu masih dihantui misteri yang menimpa dirinya.
Ia didera sakit kepala berkepanjangan hingga kematian datang padanya pada pekan
lalu—bertahun-tahun kemudian—mendahului kawannya yang ia kira telah mati dan
kubur di kedalaman Warihin. Berkali-kali ia meyakinkan diri bahwa itu memang
kijang emas, dan kupikir memang lebih baik begitu, bahwa ia sebenarnya mengubur
kijang emas dan hanya itu akhir paling masuk akal yang dapat membuat cerita ini
tidak menjadi teror bagi desa yang kami tinggali.[]
RAFII SYIHAB, berasal dari Kalimantan Selatan. Berprofesi sebagai tenaga honorer di pondok pesantren, juga sebagai penyadap karet. Menulis cerpen dan esai, beberapa karyanya dimuat di beberapa media terpisah, salah satunya esai tentang kopi Pengaron yang diterbitkan oleh Perpusnas Press dalam antologi esai Inkubator Literasi Pustaka Nasional berjudul Jalan Tengah Kopi Pengaron pada 2022 silam.


0 Komentar