Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

KIJANG ITU EMAS WARNANYA, CERPEN RAFII SYIHAB

 


Selasa pagi, barang jam sepuluh lebih kurang beberapa menit, lelaki itu tersadar dengan kepala pengar seolah segala hal yang berlalu semalam merupakan mimpi buruk yang dapat dilupakan dengan secangkir kopi dingin yang tersisa di dalam botol plastik, tetapi perasaan itu hanya sesaat saja, ketika ia menyadari bahwa apa yang terjadi benar-benar terjadi, maka mendadak segalanya jadi lebih buruk dan makin buruk saja semua-muanya, ia merasakan sesal-takut sebab satu kesalahan telah ia perbuat dan kawannya telah mati sebab hal itu, setidaknya begitulah yang ia yakini, dan meski dosa yang ia lakukan tanpa suatu kesengajaan berarti, tangannya tetap gemetar hebat sebab rasa takut menjelmakan ulang bayangan kijang emas berlarian di sekitar tubuhnya, di antara pohon-pohon itu, dengan derap kaki yang timbul tenggelam di atas daun mati, hutan teduh seperti lorong panjang dengan kegelapan tiada akhir jauh di ujung, kilau yang sama, bunyi sinapang barajak yang serasa berulang-ulang meletup di dekat telinga, dan itu seperti ... benar ... itu masih tempat yang sama.

               Tambuk.

                Satu-satunya hal yang dapat menyadarkannya, meski dengan cara yang buruk, dari situasi celaka itu adalah bahwa tepat di hadapannya, beberapa jengkal saja, tergeletak tubuh kawannya yang mampus tak berdaya dengan luka tembak menganga tepat di dada. Dan dengan itu kesadarannya telah kembali penuh, meski tidak cukup waras. Lelaki itu ingat kawannya yang mati, hari-hari sebelum mereka pergi ke hutan Warihin, yang mengatakan bahwa kijang emas benar ada dan harus ditemukan agar nasib buruk keduanya dapat berubah jadi lebih baik. Memang benar. Di desa, kabar soal keberadaan kijang emas sudah jadi dongeng rakyat turun temurun, orang-orang percaya makhluk itu ada, tetapi tidak ada bukti yang dapat membenarkan keberadaannya. Di luar berita kesaktian dan fungsi guna tanduk kulitnya untuk jimat-jimat, kijang itu langka belaka—untuk tak menyebutnya mustahil ditemukan—dan pasti, kata kawannya yang mati, harganya mahal.

               Dan harganya memang mahal: sebuah nyawa. Lelaki itu dan kawannya yang mati berangkat pada pagi minggu dengan bekal cukup seminggu. Tadi malam—atau malam sebelumnya, ia tidak dapat mengingat hari dengan baik setelah goncangan batin itu—setelah menyusuri hutan Warihin dengan sinapang barajak yang siap ditembakkan kapan saja, mereka menemukan karacak kaki kijang yang dalam di sebuah lembah berlumpur, ini dia, kata kawannya yang mati, nyata dah kijang emas. Mereka menyusuri telapak kaki tersebut hingga malam luruh dan cahaya bulan remang menembus daun-daun hutan. Keduanya berjalan was-was. Dingin menyergap. Dan tiba-tiba sesuatu yang tipis berkilauan di antara batang mati, berpindah cepat dari satu tempat ke tempat lain. Itulah kijang emas yang mereka cari. Kepercayaan yang lama tak berbukti. Mereka sembunyi di balik pohon, dan kijang itu mendekat patuh, berkilau seperti sihir, sebelum letup senjata menembus kegelapan dan gemanya tidak hilang hingga beberapa detik kemudian.

               Lelaki itu cukup yakin bahwa tembakannya mengenai si kijang emas, tetapi entah mengapa peluru seperti terpantul. Orang bilang kijang emas kebal terhadap peluru, bisa saja itu benar, sebab itulah yang terjadi. Kawannya yang mati turut menembak dan hal yang sama juga terjadi. Si kijang emas mengamuk-menghantam mereka, yang mana keduanya dibuat terpental-terpencar di hutan tersebut. Sinapang barajak tidak mudah digunakan untuk situasi kacau macam begitu, pemiliknya harus lebih dulu memasukkan sabut kelapa dari ujung larasnya, dirajak kuat-kuat dengan sebilah besi agar padat, lalu mesiu, lalu sabut kelapa lagi. Dalam satu kali usaha menembak, kijang emas berlesatan bagai cahaya kilat menghantam mereka satu demi satu. Mereka terpisah. Tanduk lurus kijang emas menghantam berganti-ganti. Pada satu waktu, di balik semak kumpai japang, lelaki itu melihat si kijang emas diam sesaat, cukup empuk untuk ditembak dari jarak tersebut. Dan ia menembaknya. Dan itu tepat sasaran, setidaknya  ia pikir begitu.

               Tambuk.

               Ia mendengar umpatan itu keluar. Bukan dari dirinya. Lelaki itu tentu mengira kijang emas dapat bicara, dan tetap teguh pada kebanggaan sesaat sebab berhasil menaklukan keparat itu.  Tetapi seberkas cahaya kuning menyerangnya membabi-buta, sehingga ia harus kabur dari tempat tersebut dengan pikiran kacau, lari tanpa henti hingga kilau pagi pecah di langit timur.

               Keesokan harinya ia mencari tempat itu lagi, berputar-putar di belantara hutan hingga sehari suntuk sebelum akhirnya menemukan kawannya yang mampus dengan luka tembak di dada, persis di tempat yang sama ia menembak si kijang emas. Ia menangis—laki-laki tentu boleh menangis jika tanpa sengaja membunuh seorang kawan—dan tidur, atau mungkin pingsan, dan bangun pagi berikutnya dengan air mata yang kering.

               Apa boleh buat, didera kesedihan yang panjang, lelaki itu mengburkan kawannya dengan cara yang paling sederhana sambil terus berpikir sebentuk alasan paling masuk akal untuk orang-orang di desa mengapa lepas dari hutan ini ia hanya balik seorang diri. Ia berpikir mungkin baiknya ia katakan bahwa kijang emas membawa kawannya yang mati ke dalam hutan, dan lelaki itu kembali untuk mengajak orang-orang mengambil-membalas dendam atas perkara tersebut. Benar. Itu cukup masuk akal.

           Dan begitulah ia melangkah keluar dari hutan Warihin, menyusuri anak sungai Batu Kajang jauh ke hilir, ke Mantalikit. Dari sana ia berjalan lurus selurus arus batang banyu sampai ke desa.

Lalu akhirnya, ketika lelaki itu tiba dengan raut muram yang larut dalam kesedihan karena seekor binatang yang diburu tak bakal cukup dihargai dengan nyawa seorang kawan, ia melihat kawannya yang mati, tegap berdiri menyambutnya di pelataran rumah dengan sesimpul senyum yang tak pelak membuatnya terhenyak dengan setumpuk pertanyaan.

          “Kijang itu berwarna emas, ya?” ia menujuk sinapang barajak yang lelaki itu bawa.

          “Tidak mungkin,” ia berkata, canggung dan bingung, “Oh bukan, maksudku tidak. Bukan itu. Warnanya memang emas. Kijang itu, kan?”

            Kawannya yang ia kira telah mati itu mengangguk. Masalah tersebut nampak sudah selesai di sana, tetapi selama bertahun-tahun kemudian lelaki itu masih dihantui misteri yang menimpa dirinya. Ia didera sakit kepala berkepanjangan hingga kematian datang padanya pada pekan lalu—bertahun-tahun kemudian—mendahului kawannya yang ia kira telah mati dan kubur di kedalaman Warihin. Berkali-kali ia meyakinkan diri bahwa itu memang kijang emas, dan kupikir memang lebih baik begitu, bahwa ia sebenarnya mengubur kijang emas dan hanya itu akhir paling masuk akal yang dapat membuat cerita ini tidak menjadi teror bagi desa yang kami tinggali.[]

 

RAFII SYIHAB, berasal dari Kalimantan Selatan. Berprofesi sebagai tenaga honorer di pondok pesantren, juga sebagai penyadap karet. Menulis cerpen dan esai, beberapa karyanya dimuat di beberapa media terpisah, salah satunya esai tentang kopi Pengaron yang diterbitkan oleh Perpusnas Press dalam antologi esai Inkubator Literasi Pustaka Nasional berjudul Jalan Tengah Kopi Pengaron pada 2022 silam.


0 Komentar