Aku Akan Menapaki Jalan Ini
Aku akan menapaki
jalan tak berujung ini hingga akhirnya.
Hingga detak jantungku berhenti, aku akan terus berjalan
di jalan tanpa ujung, tanpa henti.
Tak ada yang tersisa, kecuali debu,
yang telah mati dalam diriku, dan deretan pohon palem
yang menunjuk ke arah sesuatu yang memudar.
Aku akan melewati deretan pohon palem itu.
Luka tak perlu penyair
untuk melukiskan darah kematian
seperti buah delima!
Di atas atap ringkik angin,
aku akan membuka tiga puluh jendela makna,
agar kau dapat mengakhiri satu jejak
hanya untuk memulai jejak lainnya.
Apakah dunia ini akan
berakhir atau tidak,
kami akan menapaki jalan ini, jalan tanpa ujung.
Lebih tegang daripada busur.
Langkah kami menjadi anak panah.
Di mana kami berada sesaat yang lalu?
Apakah sebentar lagi kita akan menyatu dengan panah pertama?
Angin yang berputar menggulung kami.
Lalu, apa katamu?
Aku katakan:
Aku akan menapaki jalan tak berujung ini
hingga akhirnya, dan akhirku sendiri.
Sayangnya, Itu
Adalah Surga
Di sini, di tepi apa
yang runtuh, waktu membangun kita
dan menghancurkan kita...
Di sini, tidak ada "aku".
Di sini, Adam
mengingat tanah liatnya,
dan ia tidak menemukan batas untuk langit,
atau untuk hatinya, sehingga ia berkata:
"Kita lahir di sini, maka mari kita hidup di sini."
Dan ia berkata:
"Aku tidak melihat apa pun, jadi aku mungkin tidak akan melihat
sebuah lentera yang menyala atau bahkan sebuah pohon
yang tidak menaungi kekosongan."
Ia berkata:
"Di sini, di bawah pohon ini, aku akan memanjat tinggi
hingga cabangnya mencapai segala arah.
Aku hanya seorang penyair…
seorang penyair!"
Ia berkata:
"Jika surga hanya ada dalam mimpi kita,
mengapa kita tidak tetap tinggal di sini?"
Dan ia berkata, pada
akhirnya:
"Tidak ada yang nyata di sini, selain ketiadaan.
Sayangnya, itu adalah surga."
Jika Aku Memulai
Lagi
Jika aku diberi
kesempatan untuk memulai lagi,
aku akan membuat pilihan yang sama: mawar-mawar di pagar.
Aku akan menempuh jalan yang sama,
entah mengarah ke Cordoba atau tidak.
Aku akan membaringkan bayanganku di atas dua batu,
agar burung-burung bisa bersarang di salah satu dahannya.
Di Bumi Ini
Di bumi ini, kita
memiliki apa yang membuat hidup layak dijalani:
keraguan April, aroma roti di pagi buta,
cara seorang perempuan memandang laki-laki,
karya Aeschylus, awal cinta,
rumput yang tumbuh di atas batu,
ibu-ibu yang hidup dari desahan seruling,
dan ketakutan para penjajah terhadap kenangan.
Di bumi ini, kita
memiliki apa yang membuat hidup layak dijalani:
hari-hari terakhir September, seorang perempuan
yang menjaga aprikot tetap ranum setelah usia empat puluh,
seberkas sinar matahari di dalam penjara, awan
yang memantulkan kawanan makhluk hidup,
tepuk tangan rakyat untuk mereka yang menghadapi kematian dengan senyuman,
dan ketakutan seorang tiran terhadap lagu.
Di bumi ini, kita
memiliki apa yang membuat hidup layak dijalani:
di bumi ini, Sang Wanita Bumi,
ibu dari semua permulaan dan akhir.
Dulu ia disebut Palestina. Namanya
kemudian tetap menjadi Palestina.
Wahai Tuhanku, karena
Engkau adalah Tuhanku,
aku berhak untuk hidup.
Aku Milik Tempat
Itu
Aku milik tempat itu.
Aku punya banyak kenangan.
Aku lahir seperti setiap manusia dilahirkan.
Aku punya seorang ibu, sebuah rumah dengan banyak jendela,
saudara-saudara, teman-teman, dan sebuah sel penjara
dengan jendela yang dingin!
Aku punya gelombang
yang direnggut camar,
panorama milikku sendiri.
Aku punya padang rumput yang terbenam.
Di cakrawala kata-kataku, aku punya bulan,
rezeki burung, dan pohon zaitun yang abadi.
Aku telah hidup di
tanah ini jauh sebelum pedang
mengubah manusia menjadi buruan.
Aku milik tempat itu.
Saat langit berduka untuk ibunya, aku mengembalikan langit kepada ibunya.
Dan aku menangis agar awan yang kembali
dapat membawa air mataku.
Untuk melanggar
aturan,
aku telah mempelajari semua kata yang dibutuhkan untuk pengadilan berdarah.
Aku telah mempelajari dan membongkar semua kata
demi merangkai satu kata: Rumah.
Bandara Athena
Bandara Athena
menyebarkan kami ke bandara-bandara lain.
Di mana aku bisa bertarung? tanya seorang pejuang.
Di mana aku bisa melahirkan anakmu? seru seorang wanita hamil.
Di mana aku bisa menanamkan uangku? tanya seorang petugas.
Ini bukan urusanku, kata seorang intelektual.
Dari mana asalmu?
tanya petugas bea cukai.
Dan kami menjawab: Dari laut!
Ke mana kamu akan pergi?
Ke laut, jawab kami.
Apa alamatmu?
Seorang wanita dari kelompok kami berkata: Desaku adalah bungkusan di
punggungku.
Kami telah menunggu di
bandara Athena selama bertahun-tahun.
Seorang pemuda menikahi seorang gadis tetapi mereka tidak memiliki tempat untuk
malam pernikahan mereka.
Dia bertanya: Di mana aku bisa bercinta dengannya?
Kami tertawa dan berkata: Ini bukan waktu yang tepat untuk pertanyaan itu.
Analis berkata: Untuk
hidup, mereka mati karena kesalahan.
Seorang sastrawan berkata: Kamp kami pasti akan runtuh.
Apa yang mereka inginkan dari kami?
Bandara Athena menyambut pengunjungnya tanpa akhir.
Namun, seperti bangku di terminal, kami tetap di sana, dengan tak sabar
menunggu laut.
Berapa tahun lagi,
wahai bandara Athena?
Aku Terlalu Banyak
Bicara
Aku terlalu banyak
bicara tentang nuansa kecil antara wanita dan pohon,
tentang pesona bumi, tentang sebuah negeri tanpa cap paspor.
Aku bertanya: Benarkah, tuan dan nyonya, bahwa bumi manusia
untuk semua umat manusia seperti yang kalian katakan?
Kalau begitu, di mana
pondok kecilku, dan di mana aku?
Para peserta konferensi memberiku tepuk tangan selama tiga menit,
tiga menit kebebasan dan pengakuan.
Konferensi menyetujui
hak kami untuk kembali,
seperti semua ayam dan kuda, ke mimpi yang terbuat dari batu.
Aku menjabat tangan mereka, satu per satu. Aku membungkuk kepada mereka.
Kemudian aku melanjutkan perjalananku ke negeri lain
dan berbicara tentang perbedaan antara fatamorgana dan hujan.
Aku bertanya:
Benarkah, tuan dan nyonya,
bahwa bumi manusia adalah untuk semua umat manusia?
Biodata Penyair: Mahmoud Darwish (1941–2008) adalah seorang penyair, penulis, dan intelektual Palestina yang dianggap sebagai salah satu suara paling penting dalam sastra Arab modern. Lahir di desa Al-Birwa, Galilea, yang dihancurkan pada masa konflik Arab-Israel pada 1948, Darwish tumbuh dengan pengalaman diaspora dan penderitaan bangsanya. Pengalaman ini menjadi sumber utama inspirasi dalam karyanya.Karya-karya Darwish, yang meliputi puisi, esai, dan prosa, sering kali mengangkat tema tentang identitas, tanah air, pengasingan, dan kemanusiaan. Ia dikenal karena gaya puisinya yang liris, penuh metafora, dan kaya akan simbolisme. Salah satu karya terkenalnya adalah "Identity Card" (1964), sebuah puisi yang menggambarkan protes terhadap penindasan dan kehilangan identitas bangsa Palestina.
Selama hidupnya, Darwish meraih berbagai penghargaan internasional, termasuk Lenin Peace Prize dan Prince Claus Award, atas kontribusinya dalam dunia sastra. Karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, menjadikannya ikon global dalam menyuarakan keadilan dan perlawanan.
Sebagai seorang tokoh politik dan budaya, Darwish juga pernah menjadi anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan editor berbagai publikasi sastra. Namun, ia tetap lebih dikenal sebagai penyair yang memberi suara bagi rakyat Palestina, menjembatani antara kepedihan sejarah dan harapan akan perdamaian. Mahmoud Darwish wafat pada 9 Agustus 2008, tetapi warisan puisinya terus hidup dan menginspirasi dunia.
Biodata Penerjemah: Penulis aktif berkomunitas di Arkalitera, sebuah komunitas yang berfokus pada literasi dan penulis-penulis muda di Kalimantan Selatan. Kadang-kadang menulis puisi, kadang-kadang menulis cerpen, kadang-kadang tidak menulis apa-apa. Seorang pekerja sosial, penulis konten media sosial, dan penerjemah amatir yang dapat dijumpai di banyak jejaring dengan nama pengguna @syahrulchelsky


0 Komentar