Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

MANDI DARAH DI SUNGAI BARITO, SEBUAH CERPEN KARYA ZULFAN FAUZI

 

Foto Ilustrasi: Rafii Syihab

Qing su menyapu lelehan peluh di wajahnya, hari yang begitu panas seperti hari ini begitu menyiksanya. Tetiba saja ia merindukan kampung halamannya, pada hari-hari dimana dari langit berguguran benda halus berwarna putih dan meninggalkan rasa dingin di kulit.

  Di tanah kelahirannya, ketika salju jatuh di hari pertama biasanya akan disambut dengan gembira oleh para anak-anak. Guguran benda putih yang tercipta dari partikel uap air yang membeku karena tiupan angin dingin itu bagai penawar lelah akan teriknya musim panas.

  Ibunya dulu selalu menghangatkan sup untuk dirinya ketika masih kecil, ia selalu jatuh cinta dengan masakan ibunya apapun jenisnya. Keluarga mereka terlampau miskin untuk bisa memakan daging, jadi kadang ketika musim dingin tiba Qing Su kecil dengan pakaian tebal yang terbuat dari bulu dan kulit hewan akan menerjang tiupan angin dingin dan pergi ke danau di pinggir kota.

  Ketika musim dingin tiba maka danau di pinggir kota itu akan membeku, lalu Qing Su kecil akan pergi mencari ikan di tengah danau yang membeku.

  Semuanya yang dulu semarak dengan warna-warni pun kini kuyup, entah pepohonan yang menghijau, bunga-bunga yang ditanam sang ibu semua tunduk dalam hukum kefanaan. Bahwa tidak ada yang abadi di muka bumi ini.

  Kata sang ibu kepada Qing Su kecil bahwa pergantian musim pun bisa memberikan pengajaran bahwa hidup ini hanya sementara saja. Segala kesedihan akan berlalu, kemudian berganti bahagia. Semua tawa akan berlalu, kemudian berganti air mata.

  Bahwa mensyukuri hidup adalah cara paling sempurna untuk menjalani kefanaan.

  Kenangannya Qing Su menyeretnya begitu jauh ke masa lalu, sejauh dirinya kini dengan tanah tumpah darahnya. Kini sejauh mata ia memandang hanya hamparan biru lautan, seakan di hadapannya kini adalah permadani dari persia. Sebelum berkelana ke Nan Yang sebutan untuk nusantara atau pulau di sebelah selatan negeri tempat lahirnya, Qing Su pernah menjadi bagian kafilah perdagangan yang melintasi jalur sutra, melintasi pegunungan dan gurun pasir dengan berkendara unta.

   Kini ia telah menjadi pemimpin dari kafilah perdagangannya sendiri, namun bukan gurun pasir dan curamnya pegunungan yang harus ia taklukkan kini. Melainkan lautan luas nan kejam, hutan-hutan gelap, dan para pemburu kepala di pedalaman.

   "Jaro, apakah masih jauh Bandar Muara Bahan?" tanya Qing su kepada salah satu pengawalnya yang juga merupakan kapten kapal yang membawa barang dagangannya.

  "Masih setengah hari lagi tuanku!” sahut Jaro namun matanya tetap fokus ke depan, ke barisan pohon-pohon bakau yang seolah menjadi penanda jarak menuju tempat yang akan mereka datangi.

   Qing Su tahu bahwa masih memerlukan waktu hampir setengah hari lagi untuk sampai di Muara Bahan, ini bukan kali pertama dirinya berniaga ke Bandar Muara Bahan. Dirinya hanya ingin memecah keheningan yang tiba-tiba saja melanda kapal niaga miliknya.

   Matahari berdiri dengan angkuh di pucuk langit sana, seakan ia raja angkuh yang tiap katanya adalah hukum dan undang-undang. Ada keheningan yang menusuk ketika kapal niaga mereka telah berhasil melewati lautan dan kini memasuki bagian dari sungai Barito.

  Petang nanti, ketika matahari bersinar redup dan langit berwarna jingga maka mereka akan tiba di Bandar Muara Bahan. Qing Su juga merindukan gundik miliknya yang telah ia beli dari pelaut bugis ketika pertama kali ia memutuskan berniaga di bagian tenggara Kalimantan ini.

   Lautan luas dan membentang telah terlalui, namun bukan berarti sungai yang kini sedang mereka lintasi itu kecil. Sungai Barito adalah jalan raya bagi para kapal niaga yang akan menuju Bandar Muara Bahan, sungai yang lebar dan luas bahkan lebih mirip lautan itu sanggup dilewati oleh puluhan kapal-kapal besar.

  Di pinggiran sungai terlihat banyak pohon-pohon berjajar, para hewan khas Kalimantan seperti bekantan nampak sedang duduk di pohon sambil memakani dedauanan. Qing Su selalu kagum dengan hewan yang bernama bekantan ini, hal ini mengingatkannya ketika menjadi bagian kafilah pedagang di jalur sutra, ketika ia untuk pertama kalinya bertemu dengan orang eropa.

  Bekantan memiliki hidung mancung dan besar serta berbulu agak kekuningan, yang membuatnya langsung teringat dengan penampilan fisik orang eropa yang berhidung mancung dan rambut sewarna jagung. Satu hal lagi, ia takjub dengan kemampuan bekantan untuk berenang di sungai.

  Pekik elang membelah keheningan, suasana saat itu terasa janggal. Lalu lintas di sungai Barito biasanya ramai, namun kali ini terasa sunyi sekali. Tidak ada satupun kapal besar yang melintas, hanya ada beberapa jukung atau perahu kecil pencari ikan yang semenjak tadi melaju di sisi kapal mereka.

  Langit yang sedari tadi benderang entah kenapa terasa redup. Matahari yang berlagak angkuh di atas sana kini mulai tersaput awan.

   Jaro dan segenap anggota di kapal niaga milik Qing su menjadi waspada, tangan mereka semua memegang hulu parang yang tersampir di sisi kiri tubuh mereka. Jaro sendiri sudah membiarkan parang lais di tangannya keluar dari sarungnya.

  "Arghhh...!" Tiba-tiba saja ada teriakan dan seketika saja semua anak buah Qing Su mencari asal sumber suara.

  Namun nihil, ketika mereka semua berusaha  menemukan sumber suara tadi yang ada hanya sisa riak sungai yang bergelombang seakan baru saja ada orang terjatuh.

    Satu orang anggota mereka telah menghilang, hanya tersisa rasa ngeri dan jejak gelombang di sungai Barito.

  Qing Su sedari tadi telah menghunus pedang miliknya. Pedang berujung lancip dan tajam di kedua sisi yang terbuat dari baja terbaik. Walaupun ketakutan, seluruh tubuhnya tak ia biarkan gemetaran. Takkan ia biarkan para perompak itu mengira ia takut, sudah berkali-kali ia mengalami kejadian hampir mati, entah saat masih berkelana di gurun pasir saat melintas di jalur sutra atau ketika menghadapi para perompak di lautan ganas.

   Dan ia masih hidup.

 Satu per satu awak kapal niaga milik Qing Su mengilang tanpa jejak, hanya tersisa riak air, teriakan tertahan dan rasa ngeri yang menguar.

    Qing su berusaha tak terlihat ketakutan. Ia genggam pedang miliknya di kedua tangan, bersiap menghabisi siapa saja yang mencoba mengambil harta benda miliknya.

  Pekik elang yang terbang di angkasa sana pun seakan tertahan karena rasa ngeri menyaru di udara.

   "Buhaya Kuning, keluar kau!", teriak Jaro. Ia begitu murka melihat anak buahnya yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Parang Lais di tangan kanannya bersiap mencari mangsa.

  Tiba-tiba di hadapan kapal niaga milik Qing su muncul gelembung-gelembung udara, lalu di antara buih dan riak itu muncul lelaki paruh baya dengan baju berwarna kuning. Sosok itu melompat begitu saja ke atas anjungan kapal milik Qing su.

  Sementara itu tiba-tiba saja sekelompok jukung milik para nelayan pencari ikan itu tiba-tiba saja mengurung kapal niaga milik Qing su.

  Gigi Qing su bergemeretak, ia genggam pedang miliknya erat-erat. Rupanya sudah semenjak memasuki sungai Barito mereka telah diincar. Para awak kapal milik Qing Su pun bersiap untuk bertaruh nyawa dengan kelompok Hantu Banyu pimpinan Buhaya Kuning yang menyamar sebagai nelayan pencari ikan di pesisir sungai Barito.

  Para awak kapal melemparkan tombak ke arah para penjarah yang menyamar sebagai nelayan tersebut karena berniat untuk menaiki kapal. Desingan bunyi tombak yang dilempar membelah udara, beriringan dengan jerit pilu karena dada anggota perompak Hantu Banyu yang tertembus besi

   Sebagian anak buah Buhaya Kuning mati karena lemparan tombak saat berusaha merebut kapal, sementara sang pemimpin tengah beradu nyawa dengan Jaro sang tangan kanan Qing su. Teriakan sakit dan jeritan pilu karena kulit yang tersayat besi dan darah berceceran.

  Qing su pun tak kalah trengginas saat memainkan pedangnya, beberapa kali ia berhasil mematahkan setiap serangan para perompak tersebut. Lelaki paruh baya dari negeri di atas angin itu menggila, amarahnya, kebencian dan rasa takut menjelma menjadi serangan membabi buta bagi siapa saja yang mencoba mendekati dirinya dan barang dagangan miliknya.

   "Kalian para cecunguk hanya mengantar nyawa!” teriak Qing Su sambil menghindari parang yang ditebas mengarah ke kepalanya.

   Hampir saja kepala miliknya putus, maka hal itu semakin menambah murka Qing Su. Melalui pedangnya ia salurkan amarahnya, anggota perompak yang mencoba memenggal kepalanya kini telah tertusuk mata pedang milik Qing su.

  Kapal dagang milik Qing Su seakan bermandikan darah. Barisan mayat yang terdiri dari awak kapal miliknya dan para perompak berbaris dalam kondisi yang mengenaskan, ada yang kehilangan sebelah tangannya lalu kehabisan darah dan meninggal.

    Salah satu awak kapal yang berjaga di depan penyimpanan barang dagang kepunyaan sang saudagar pun tak lepas dari kematian yang mengerikan. Perutnya terburai karena tusukan dan sayatan keris sampana milik salah satu kawanan perompak, sebelum akhirnya pedang milik Qing su menembus tenggorokan si perompak yang telah merenggut anak buahnya.

**

  Sosok di atas anjungan itu berdiri santai, tiupan angin terasa begitu sejuk di kulitnya yang basah karena air sungai.

  Jaro menatap tajam kepada sosok yang ia sebut dengan Buhaya Kuning tersebut. Matanya tergambar murka, sementara kilau parang lais di tangan kanannya berkilat angkara.

  Lelaki berbaju kuning itu tersenyum sembari memerkan giginya yang tanggal, di tangannya tergenggam pedang khas negeri Ming hasil rampokannya beberapa waktu yang lalu. Sosok Buhaya Kuning itu begitu terkenal di pesisir sungai Barito karena mereka suka merampok para saudagar yang lewat.

   Kelompok pimpinan Buhaya Kuning biasa disebut sebagai kelompok Hantu Banyu Pesisir Barito, karena tindak tanduk mereka yang suka menenggelamkan korban mereka di sungai Barito.

  "Kau akan binasa di tanganku", geram Jaro dengan parang yang berkilatan dengan amarah.

  Sedangkan Buhaya Kuning tersenyum dengan tatapan yang menantang.

   Mendung menggelayut di langit, seakan ia adalah kekasih yang terhanyut dalam pelukan kekasih. Dedaunan tersibak oleh bekantan yang mencoba mencari tahu ada apa gerangan di kapal yang dinaiki manusia tersebut.

  Sementara sekelompok buaya muara pun mulai berkerumun di sekitar kapal niaga tersebut. Tentu mereka tidak tertarik tentang siapa yang menang atau kalah, mereka hanya ingin memangsa siapa saja yang jatuh di sungai Barito. Sungai yang menjadi nadi kehidupan warga Kalimantan.

Awan bergerak dengan lamban seakan enggan membiarkan matahari menyaksikan manusia saling tikam di bawah sana. Sebuah jung tiongkok alias kapal niaga milik Qing Su hanyut dengan pelan di atas sungai Barito, sedangkan di atasnya sekumpulan manusia dengan parang dan pedang di tangan saling memandikan diri mereka dengan darah lawan masing-masing.

Mayat-mayat yang terjatuh saat beradu tajamnya senjata di atas kapal menjadi santapan sekumpulan buaya muara yang telah mengelilingi kapal. Bagi hewan pemakan daging seperti mereka, tak peduli siapa benar siapa salah, siapa menang siapa kalah. Ketika ada manusia yang terjatuh dari kapal, saat itulah para buaya muara berpesta.

  Sungai Barito merah jelaga, bagai tatapan nanar dari seorang ksatria murka. Sungai Barito semerah darah, seakan legenda lubuk badangsanak kembali dicipta.

  Kalau Lubuk Badangsanak tercipta karena rasa takut dan iri paman kepada keponakan, maka di sungai Barito kali ini darah tertumpah karena rasa rakus dan keinginan memiliki sesuatu yang bukan miliknya.

Sementara itu di anjungan kapal, Jaro dan Buhaya Kuning saling mengadu tikaman. Kedua orang itu saling berebut untuk merenggut nyawa. Setiap Jaro menebaskan parang lais miliknya ke arah Buhaya Kuning maka setiap itu juga ia berhasil untuk menghindar.

  Ketika tebasan terakhir dari Jaro berhasil dihindari oleh Buhaya Kuning, seketika itu pula pemimpin perompak Hantu Banyu itu mendesak maju, berupaya untuk mengambil inisiatif serangan yang didominasi oleh Jaro.

  Kini dengan pedang di tangan maka Buhaya Kuning pun melakukan serangan balik. Ujung pedang milik Buhaya Kuning ditusukkan lurus mengarah ke jantung milik Jaro.

    Setelah terus menerus serangan yang Jaro lancarkan berhasil dihindari Buhaya Kuning. Maka kini berbalik Buhaya Kuning lah menebar angkara, tusukan pedangnya berniat mencabut satu-satunya nyawa milik Jaro.

  Namun Jaro bukanlah anak kemaren sore dalam dunia sungai dan telaga. Ia matang dalam banyak pertempuran, bukti bahwa sampai sekarang ia masih bisa hidup dan menjadi orang kepercayaan Qing su dalam petualangannya saat berniaga di Nusantara.

  Tidak sedikit kejadian yang hampir membuat nyawanya terenggut, namun sampai saat ini semua lawannya lah yang harus binasa karena ketajaman bilah besi kesayangannya.

  Ketika pedang yang diarahkan oleh Buhaya Kuning menuju ke jantung, dengan sigap Jaro mengibaskan parang lais miliknya seakan mendayung perahu dengan niat menghalau tusukan pedang.

  Sisi tajam parang lais bertemu sisi tajam pedang milik Buhaya Kuning yang berasal dari rampasan kapal niaga dari negeri Ming yang melintas di sungai Barito.

  Tenaga kibasan parang milik Jaro membuat tusukan yang dicoba disarangkan oleh Buhaya Kuning menjadi terlempar ke sisi luar sebelah kanan. Tenaga tangkisan yang dihasilkan oleh Jaro bagaikan dayungan ombak bersahut-sahutan, seandainya Buhaya Kuning tak menggenggam erat gagang pedanya pastilah pedang itu akan terlempar.

   Genggaman erat di hulu pedang menyelamatkan Buhaya Kuning dari kehilangan senjata, namun hal itu bukan berarti sosok perompak yang terkenal kejam dari pesisir sungai Barito tersebut sudah terlepas dari bahaya. Efek hantaman berupa tangkisan dari Jaro membuat Buhaya Kuning kehilangan keseimbangan, tubuhnya menjadi bergeser dari langkah pola tusuk dan serang yang menjadi andalannya.

  Bukan seperti kebanyakan para pendekar di tepi sungai Barito yang lebih sering menggukan teknik tebas, sayat, cancang, dan rawis. Buhaya Kuning dengan pedang rampasannya mengembangkan teknik bertarungnya sendiri, alih-alih menebas ia terus menyempurnkan teknik tusuk ke titik lemah.

  Buhaya Kuning terlempar berkat hantaman Jaro yang bagai deru ombak lautan tersebut.

     Maka, kini Jaro berada di titik buta Buhaya Kuning. Hal itu berarti ia Buhaya Kuning tidak dapat melihat posisi Jaro sekarang dan itu mengakibatkan posisi pemimpin perompak yang menggetarkan seluruh pesisir Barito itu kini rentan akan serangan balik.

   Jaro kini berada di sisi kanan luar dari posisi bahu Buhaya Kuning. Tangannya menggenggam erat para lais miliknya, matanya menyipit. Jaro kini mengincar leher bagian belakang dari Buhaya Kuning, dengan satu tebasan satu nyawa akan hilang dan seluruh penghuni kapal akan selamat.

  Posisi tangan kanan Jaro yang memegang parang lais kini berada di sisi tubuh sebelah kiri. Sebuah tebasan yang akan mengakhiri segalanya, sebuah tebasan yang akan mengakhiri riwayat angkara murka Buhaya Kuning di tepi sungai Barito.

   Sekuat tenaga Jaro melesatkan parang lais miliknya, menebas dengan posisi horizontal mengincar lehernya Buhaya Kuning.

 Angin bertiupan lembut, kapal terhanyut lambat.

 Namun tidak ada keheningan, kapal niaga pengangkut barang-barang keramik dari negara Ming itu dipenuhi cacian dan sumpah serapah. Keringat dan darah membasahi geladaknya.

  Jaro merasa waktu berjalan begitu lambat, tebasan parang sekuat tenaga miliknya seakan kapas tertiup angin, begitu pelan dan seakan mengalun. Sedangkan bagi Buhaya Kuning semua berjalan begitu cepat, seakan kilasan kilat di angkasa. Sekali salah mengambil keputusan maka kepalanya akan berpisah dengan tubuhnya.

  Tebasan Jaro menderu bagai badai di tengah lautan. Pupuslah sudah riwayat Buhaya Kuning, dalam hati Jaro membatin.

  Buhaya Kuning sudah di ujung penghidupannya. Ia pejamkan mata, ia lemaskan seluruh tubuhnya, ia biarkan energi tangkisan yang membuat tusukan pedangnya mencelat dari sasaran membuat dirinya terlempar. Jadi alih-alih menghindar dengan menundukkan kepala, ia biarkan dirinya terhempas dan terlempar karena tangkisan Jaro.

   Serangan balik  yang diupayakan Jaro pun pupus. Tebasan parangnya menebas kekosongan, di sisi lain Buhaya Kuning nampak tersenyum. Bibirnya melengkung tipis, matanya nanar.

 Teriakan demi teriakan seolah menghambur di udara. Cacian, tangisan semua menjadi satu. Di antara deru semua itu, kini Buhaya Kuning melesat ke arah Jaro, ia menghambur bagai anak sumpit. Pedang di tangannya mengarah lurus ke jantung Jaro, semakin lama semakin cepat.

  Jaro terkesiap, mengatur pola nafasnya pun ia sudah tak sempat. Tak ada yang ia rasakan kecuali ada bilah dingin menancap di dadanya.

 Konon, ketika seseorang akan meninggal semua lintasan kenangan dalam hidupnya akan melintas. Seperti kumpulan burung yang terbang pulang saat senja datang. Di hela nafas terakhirnya, ia teringat jemari ibunya saat membelai rambutnya sewaktu kanak-kanak, lalu ada sosok ayahnya yang mengajarinya berenang dan mengemudikan perahu.

  Lalu, semua pun berubah kosong. Bukan karena Jaro sudah tak bisa mengingat kenangan apapun lagi. Namun, karena nyawanya sudah melayang sebelum semua lintasan kenangan miliknya purna untuk diingat.

   Siang itu mendung, rintik hujan sudah mulai berjatuhan. Kapal niaga dari negeri di seberang lautan itu pun hanya terhanyut pelan di sungai Barito dan seakan sudah kehilangan daya akan penghidupan.

  Rintik hujan pun semakin lebat, mendung awan laiknya tanda berkabung. Sungai Barito pun menuliskan kisah baru.

Zulfan Fauzi, penulis berasal dari Gambut, Kalimantan Selatan


0 Komentar