Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

TALBI DAN TATAPAN MATA SEEKOR ANJING, CERITA PENDEK ABDUL KARIM


Talbi mencoba menghela napas dalam-dalam untuk menjernihkan pikirannya, namun angin mengantarkan aroma bacin ke lubang hidungnya, memercikkan air keruh yang menenggelamkan desa ke wajahnya. Ia tengadahkan telapak tangannya ke langit hanya untuk memastikan apakah segenap tulang dan otot-otot pada jari-jarinya masih berfungsi dengan baik, tetesan air hujan langsung menyerang mata dan mulutnya. Malam itu tak ada langit, seluruh benda di langit menghilang, sebab yang dilihat Talbi hanya kegelapan. Ia tidak tahu berapa jumlah penduduk desa yang tenggelam dan hanyut terbawa arus. Tetapi ia tahu, situasi yang dihadapinya sekarang bukanlah satu-satunya kemalangan yang tersisa dan mungkin tidak akan berakhir dalam satu harmal.

Sejauh yang mampu diingatnya, sampan yang ia duduki sekarang pernah teronggok tak terawat selama hampir puluhan tahun. Mungkin karena terbuat dari kayu besi, ia sanggup bertahan selama itu meski jelatang dan tumbuhan merambat lainnya menutupi seluruh tubuhnya. Ia mengenang hari-hari di mana ia dan kakeknya menurunkan sampan yang baru saja selesai dibuat itu ke sungai. Ia juga mengenang nasehat kakeknya tentang hidup, tentang sampan, tentang sungai dan apa-apa yang menopang kehidupan ini. Sampan adalah hidup, kata kakeknya. Laut, sungai, dan danau adalah aspek yang saling menopang dalam kehidupan. Jika kau dan sampanmu sedang berada di tengah-tengah laut, lalu badai datang, kau akan mencari cara agar selamat dari badai.

Talbi mengerti, bahwa nasehat kakeknya menjauh dari konteksnya, situasi saat nasehat itu diucapkan sama sekali berbeda dengan situasi yang ia hadapi sekarang, dan kakeknya meninggal sepuluh tahun lalu dan tak sempat menyaksikan bagaimana desa itu tiba-tiba berubah jadi lautan. Talbi berandai-andai, kalau saja kakeknya masih hidup, mungkin ia akan memikirkan ulang nasehatnya, menimbang-nimbang kemungkinan relevan atau tidaknya nasehat tersebut.

Ia pikir, kakeknya memang sudah membayangkan apa yang akan terjadi pada desa ini. “Soalnya, kakek rajin sekali bercerita tentang banjir besar dan mengagumi keterampilan Nuh bertukang.”

Desa itu amat jauh dari lautan dan, bagi Talbi, hampir mustahil berubah jadi lautan dalam—hanya dalam waktu kurang dari satu malam. Sungai Manulung yang lebarnya hanya satu lompatan tupai di punggng bukit itu tak cukup mampu menenggelmkan desa ini—sederas apa pun hujan turun. Mengubah daerah perbukitan menjadi lautan tak semudah  kau membalikkan telapak tanganmu dan mengembalikan situasi saat ini ke situasi sepuluh tahun lalu tentu saja tak mungkin.

Osom sebetulnya sangat jauh dari laut, para penghuninya pun tidak pernah melihat laut secara langsung, hanya mendengar cerita yang disampaikan kerabat yang datang dari jauh, melihat gambar atau video tentang laut di televisi dan internet.

Bertahun-tahun silam apabila hujan turun dan angin bertiup kencang, Talbi selalu menemukan cara terbaik untuk menikmati suasana. Ia suka mendengar angin bergemuruh menggoyangkan pohon-pohon di kaki gunung. Ia suka melihat daun-daun kering dan ranting mati berjatuhan ditiup angin. Saat menyaksikannya, Talbi merasa damai dan tercerahkan. Ia biasanya duduk-duduk di belakang rumahnya yang berhadap-hadapan langsung dengan sebuah rawa tempat sekawan burung pipit dan biawak berkumpul mencari penghidupan tanpa merasa perlu membawa sentimen masing-masing ke tengah mereka. Adegan dan bunyi-bunyian alami yang dibuat oleh makhluk-makhluk itu kerap membuat Talbi membayangkan hal-hal yang mungkin dan tak mungkin terjadi di masa depan.

Seseorang memanggil Talbi. Di teliga talbi suara itu seakan-akan keluar dari mulut orang yang mengharapkan pertolongan. Dari arah munculnya, suara itu berasal dari belakang, jauh di tempat yang lebih tinggi, seperti di puncak gunung atau di atap sebuah rumah. Menurut Talbi, pikirannya sedang kurang jernih dan sulit dikendalikan. Namun ia percaya bahwa sebiji bukit berbatu yang mirip seekor kucing sedang tidur itu dijaga oleh arwah para leluhur. Dalam situasi seperti itu, barangkali kita bisa memaklumi—dan boleh jadi akan sepakat—dengan apa yang sedang Talbi pikirkan: suara yang memanggil namanya barusan adalah milik mereka.

Dan dari jarak selemparan tombak, Talbi melihat sepasang cahaya berbentuk mata seekor anjing.


Abdul Karim, seorang penulis cerpen, puisi dan esai. Aktif berkomunitas di Arkalitera.

0 Komentar