Sejauh yang mampu diingatnya, sampan yang ia duduki sekarang pernah
teronggok tak terawat selama hampir puluhan tahun. Mungkin karena terbuat dari
kayu besi, ia sanggup bertahan selama itu meski jelatang dan tumbuhan merambat
lainnya menutupi seluruh tubuhnya. Ia mengenang hari-hari di mana ia dan
kakeknya menurunkan sampan yang baru saja selesai dibuat itu ke sungai. Ia juga
mengenang nasehat kakeknya tentang hidup, tentang sampan, tentang sungai dan
apa-apa yang menopang kehidupan ini. Sampan adalah hidup, kata kakeknya. Laut,
sungai, dan danau adalah aspek yang saling menopang dalam kehidupan. Jika kau
dan sampanmu sedang berada di tengah-tengah laut, lalu badai datang, kau akan
mencari cara agar selamat dari badai.
Talbi mengerti, bahwa nasehat kakeknya menjauh dari konteksnya, situasi
saat nasehat itu diucapkan sama sekali berbeda dengan situasi yang ia hadapi
sekarang, dan kakeknya meninggal sepuluh tahun lalu dan tak sempat menyaksikan
bagaimana desa itu tiba-tiba berubah jadi lautan. Talbi berandai-andai, kalau
saja kakeknya masih hidup, mungkin ia akan memikirkan ulang nasehatnya,
menimbang-nimbang kemungkinan relevan atau tidaknya nasehat tersebut.
Ia pikir, kakeknya memang sudah membayangkan apa yang akan terjadi pada
desa ini. “Soalnya, kakek rajin sekali bercerita tentang banjir besar dan
mengagumi keterampilan Nuh bertukang.”
Desa itu amat jauh dari lautan dan, bagi Talbi, hampir mustahil berubah
jadi lautan dalam—hanya dalam waktu kurang
dari satu malam. Sungai Manulung yang lebarnya hanya satu lompatan tupai di
punggng bukit itu tak cukup mampu menenggelmkan desa ini—sederas apa pun hujan
turun. Mengubah daerah perbukitan menjadi lautan tak semudah kau membalikkan telapak tanganmu dan
mengembalikan situasi saat ini ke situasi sepuluh tahun lalu tentu saja tak
mungkin.
Osom sebetulnya sangat jauh dari laut, para penghuninya pun tidak pernah
melihat laut secara langsung, hanya mendengar cerita yang disampaikan kerabat
yang datang dari jauh, melihat gambar atau video tentang laut di televisi dan
internet.
Bertahun-tahun silam apabila hujan turun dan angin bertiup kencang, Talbi selalu menemukan cara terbaik untuk menikmati
suasana. Ia suka mendengar angin bergemuruh menggoyangkan pohon-pohon di kaki
gunung. Ia suka melihat daun-daun kering dan ranting mati berjatuhan ditiup
angin. Saat menyaksikannya, Talbi merasa damai dan tercerahkan. Ia biasanya
duduk-duduk di belakang rumahnya yang berhadap-hadapan langsung dengan sebuah
rawa tempat sekawan burung pipit dan biawak berkumpul mencari penghidupan tanpa
merasa perlu membawa sentimen masing-masing ke tengah mereka. Adegan dan
bunyi-bunyian alami yang dibuat oleh makhluk-makhluk itu kerap membuat Talbi
membayangkan hal-hal yang mungkin dan tak mungkin terjadi di masa depan.
Seseorang memanggil Talbi. Di teliga talbi suara itu seakan-akan keluar
dari mulut orang yang mengharapkan pertolongan. Dari arah munculnya, suara itu
berasal dari belakang, jauh di tempat yang lebih tinggi, seperti di puncak
gunung atau di atap sebuah rumah. Menurut Talbi, pikirannya sedang kurang
jernih dan sulit dikendalikan. Namun ia percaya bahwa sebiji bukit berbatu
yang mirip seekor kucing sedang tidur itu dijaga oleh arwah para leluhur. Dalam
situasi seperti itu, barangkali kita bisa memaklumi—dan boleh jadi akan sepakat—dengan
apa yang sedang Talbi pikirkan: suara yang memanggil namanya barusan adalah
milik mereka.
Dan dari jarak
selemparan tombak, Talbi melihat sepasang cahaya berbentuk mata seekor anjing.


0 Komentar