Pengantar
Sebelum makalah ini
berangkat kepada tugasnya untuk "mengulas dan mengkritisi" kumpulan
cerpen dalam buku "Jalan-jalan, Senang-senang, Mati Menjemput
Abajada", saya hendak bepergian singkat saja ke tahun-tahun saya mengenal
penulis.
Pada bagian ini
memang seakan terkesan membuang-buang waktu, tapi barangkali ada baiknya;
mungkin akan kita temukan substansi ke arah fokus cerita-ceritanya. Jika tidak,
maka akan dikembalikan ke pernyataan pertama bahwa memang benar, tulisan ini
sekadar sia-sia belaka.
Terus terang,
penulis adalah mentor menulis saya. Sebelumnya, mungkin juga sekarang, saya
adalah tipe pendiam dan tak merasa perlu atau percaya tulisan-tulisan saya bisa
disantap di luar dari saya pribadi, serta menganggap kegiatan menulis tak lebih
adalah urusan onani; serupa menyundut petasan dan melemparnya ke kandang ayam.
Tapi ternyata
tulisan dibaca dan diedit oleh seseorang, terlebih dicerca--terdapat kesalahan
tanpa baca dan segala macam--tidak terlalu buruk dari bersin yang mampat. Saya
sadari itu saat ikut kelas menulis yang diampu Bang Hajriansyah dua tahun silam
di Kampung Buku.
Semenjak itu saya
membaca dan belajar dari cerpen-cerpen beliau, termasuk dua kumpulan cerpen
sudah terbit. Jadi, ada beban tersendiri ketika saya diutus oleh Arkalitera
untuk menjadi salah satu pembedah buku terbarunya, di samping alasan yang telah
saya bilang barusan, juga dengan segala kerendahan hati, saya bukan kritikus
sastra. Jadi apa yang akan saya dedahkan di bawah ini mungkin saja salah,
mungkin saja mengada-ada.
Buku Bolak-balik: Tidak Konvensional Juga Tak Baru
Secara format,
tampilan buku ini menarik lantaran memuat sampul depan dan belakang dengan arah
berkebalikan: kumpulan cerpen dan kumpulan puisi. Format semacam ini biasa
disebut flip book (atau buku bolak balik)--istilah sama juga berlaku
untuk jenis buku kecil dengan serangkaian halaman bergambar yang dibuka dengan
cepat agar menciptakan ilusi animasi. Dalam sastra, format ini pernah digunakan
Sapardi dalam kumpulan cerpennya "Pada
Suatu Hari Nanti". Begitu juga kolaborasi antara Nugroho Suksmanto dan
Triyanto Triwarkomo yang mengawinkan dua kumpulan puisi (cetakan pertama tahun
2010).
Setelah beberapa
contoh tadi disebut, dapat disimpulkan bila format semacam ini--meski tidak
konvensional--tapi bukan suatu bentuk kebaruan, tidak bersifat inovatif,
atau telah lama ada. Kendati memang tak ada salahnya; apakah mengejar fungsi
estetis buku atau strategi pasar atau cuma sekadar metode untuk bisa merangkum
prosa dan puisi dalam satu buku saja?
Baiklah, secara
lebih lanjut, saya akan mengulas cerpen-cerpen dalam buku ini. Terdapat 10
cerpen; beberapa saya ketahui telah terbit di media dan terhimpun dalam
antologi bersama.
Meneroka Lokalitas Dalam Cerpen-cerpen "Jalan-jalan,
Senang-senang, Mati Menjemput Abajada"
Membaca
cerpen-cerpen "Jalan-jalan, Senang-senang, Mati Menjemput
Abajada"--selanjutnya disingkat JSMMA--adalah mengakrabi pengalaman
idilis, pengalaman pedesaan atau lokalitas, dan relasi terhadap pengalaman
nyata si penulis; kronik kehidupan. Tak sekadar lokalitas yang menyentuh
tradisi dan kearifan masyarakat, bertungkus-lumus dengan romantisme huma, namun
juga dalam konteks kekinian, berkaitan dengan fenonema dalam masyarakat maupun
alam.
Lokalitas dalam
sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan
sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang
situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks (Maman S Mahayana, 2009).
Prioritas dalam
cerpen-cerpen di JSMMA adalah tema atau premis, beberapa juga plot dan kadang
karakter: jatuh dengan tegas di satu sisi pagar atau sisi yang lain.
Dalam hasil
pembacaan saya, setidaknya saya menemukan tiga komponen yang memberi kesan
adanya kesatuan integral tema lokalitas dalam cerpen-cerpennya: ekologis,
mitologis (mithe), dan sosio-kultural.
Tema Ekologis/ekokritik
Tema ekologis
seterang-terangnya bisa diteroka dalam cerpen "Itik yang Berkubang di
Kepalaku", "Bunyi Cengkerik di Malam Terang", dan "Fragmen
Desa dan Kota, dan Hutan Serta Bebukitan yang Gundul Dikeruk Manusia".
Lokalitas ekologis
pada cerpen"Itik yang Berkubang di Kepalaku" jelas sekali sudah
disikut sejak baris pertama cerita:
"Kampungku tepat di ujung tanah rawa. Tapi itu dulu. Kini
berkubik-kubik tanah merah dan pasir menimbuninya. Jalanan beraspal dan tembok
siring mengurung air sebatas bawah-berumahan. Ada sungai kecil masih tersisa,
dan kadang-kadang serombongan itik berenang hilir-mudik di sana. (hal 9)
Sekilas terbaca ada
semacam keresahan dalam teks figuratif itu terkait buah pahit modernitas,
pembangunan dan penyempitan sungai--sebuah lingkungan yang seperti kita
kenal kini, tapi mungkin juga tidak.
Menurut saya
kekuatan dalam teks pembukaan ini sebab selain deskriptif, juga
mengejewantahkan tentang perubahan alam secara padat. Kendati saya sesalkan
pada bagian setelah itu, cerita menjadi mengendur, seolah teks bertentangan
dengan teks sebelumnya, mengikuti "aku" seorang guru yang merasa
diusik oleh sekawanan itik berkubang di kepalanya.
Singkatnya,
dikisahkan "aku" yang berangkat menuju sekolah, namun tak merasa enak
badan. Dalam kepalanya, ia mengajuk tentang itik berkubang sebagai dalang yang
membuat pikirannya terasa bercabang-cabang. Tiba-tiba ia nanar dan kehilangan
kesadaran. Saat berada di rumah, isterinya mendapatinya muntah. Cerita kemudian
ditutup dengan bagian terpisah, berkorelasi dengan pembukaan. Walau teks
pertama dan terakhir masih menjembatani satu sama lain, namun subjektif saya,
jadi terasa menganggu saat raja itik hadir menasehati atau memarahi dalam alam
bawah sadar "aku".
Di sini saya merasa
penulis seolah kebingungan untuk menutup ceritanya. Penulis lebih serupa
telanjur telah menempatkan alegoris itik sebagai titik tumpu. Kelihatan
memaksakan meluruskan kembali tema kerusakan alam, memaksakan pembaca untuk
bertekuk kepada ke mana cerita akan ditutup.
Terlebih, itik
sebagai alegoris beban pikiran "aku" berada di dua sisi jendela
berbeda. Pertama, kita bisa menaksir itik di sini adalah beban atas masalah
ekonomi tokoh "aku". Hal ini bisa dilihat dalam paragraf berikut:
Masalahku
akhir-akhir ini memang terasa berlipat-lipat. Angsuran rumah, angsuran kulkas,
dan angsuran kendaraan bekas. Sementara janji gaji ketiga belas tak
turun-turun, karena pengetatan anggaran negera. Dan, isteriku hamil lagi.
Padahal anakku yang pertama belum lagi selesai menyusu. Kepalaku seperti mau
pecah. (hal 12)
Tetapi, di sisi
lainnya, itik boleh jadi adalah markah isu ekologis yang telah lebih dulu
disindir. Perasaan yang berlintas benak di pikiran tokoh "aku" seakan
tak bersambut dengan tema lingkungan yang dibahas. Jika boleh mengatakannya, ia
hanya tampil sekali dalam bentuk "muntahan" tokoh aku dari akibat
tercemarnya air sungai.
Berbeda dengan
cerpen "Bunyi Cengkerik di Malam Terang", tema ekokritik di sini
jelas adanya, meski beberapa narasi tidak berpusat di sekitar peristiwa
tunggal. Kendati begitu, benang merah yang mencantolkan cerita satu ke cerita
lain adalah tentang "save meratus". Lebih tepatnya isu pertambangan
batubara di Bumi Murakata.
Selain adalah isu
yang lumayan seksi, latar dan tokoh disebut secara telanjang--memang ada pada
kenyataan: Desa Kiyu, Kai Maribut, PT MCM, dan lain sebagainya. Beruntung,
beberapa waktu yang lalu, saya berkunjung ke Desa Kiyu, memandang secara kentara
pegunungan meratus di atas ketinggian 1000 mdpl, dan bertemu Kai Maribut,
sehingga gambaran dan suasana saat membaca cerpen ini mudah terlukiskan dan
dirasakan.
Cerpen ini ditutup
dengan satu kesimpulan nan ironis, seakan medan magnet yang menarik narasi-narasi
yang saling terpisah barusan, menjadi berpilin:
TIBA-TIBA GELAP!
Rumahku, dan sepanjang mata memandang ke cahaya kota. O, giliran pemadaman
lampu rupanya. Daerah kaya penghasil batu bara, tak mampu menyehatkan
turbin-turbin penggerak PLTU Asam-asam, penyangga daya Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah. (hal 23)
Tema ekologis sudah
terbaca secara eksplisit dengan hanya menilik judulnya dalam cerpen
"Fragmen Desa dan Kota, dan Hutan Serta Bebukitan yang Gundul Dikeruk
Manusia".
Seperti juga cerpen
"Bunyi Cengkerik di Malam Terang", kisah di cerpen ini terbentuk dari
narasi atau plot terpisah. Terdapat empat fragmen. Setiap fragmen berdiri atas
ceritanya sendiri, namun tetap tak bertolak dari akar soal kerusakan alam:
tambang batu bara, sampah, atau malah pokok yang lebih mendasar tentang asal
kerusakan itu--kesadaran manusia.
Kesadaran.
Pemahaman bagaimana yang dimiliki orang-orang itu. Mereka mengaji dan meminta
berkah, tapi ambisinya tak pernah sudah. Aku tak paham. Aku kurang paham,
bagaimana dua sisi paradoks kehidupan ini bertemu dalam kemewahan semu.
Sementara alam terus dieksploitasi, terus menerus, hingga kehijauannya kini
habis. (hal 38)
Tema Mitologis atau Mithe
Lévi-Strauss
melihat mite atau dongeng, seperti fenomena bahasa. Bahasa, seperti kita
ketahui, merupakan suatu sistem simbol yang digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan. Demikian juga halnya dengan mite, yang merupakan sebuah ceritera,
yang juga digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Atas dasar
pandangan inilah, hingga kini orang masih selalu berusaha mencari dan menggali
pesan-pesan yang dianggap ada di balik berbagai mite di muka bumi.
Cerpen bertema
mitos lokalitas bisa ditemukan di beberapa cerpen, seperti "Kalau Kau
Memandang Dengan Mata Terpejam" (hal 1), "Tersungkur di Ladang
Sawit" (hal 25), dan "Rantai Babi" (hal 65). Tetapi ada
perbedaan antara pengolahan masing-masing mitos.
Semisal dalam
"Kalau Kau Memandang Dengan Mata Terpejam". Cerpen yang terbit
pertama kali di koran Kompas, 29 Oktober 2017 itu menampilkan mitos dalam
bentuk yang irasional dan tak bisa disapih. Saya melihat unsur realisme magis
dalam cerpen ini.
Penulis asal
Kolombia, Gabriel Garcia Marquez salah satu yang lekat dengan genre ini.
Mengenai apa yang dimaksud dengan istilah realisme magis, untuk gampangnya
adalah cara menghadirkan yang magis sebagai unsur lumrah dalam realitas
keseharian. Para pembaca Gabo tentu akrab dengan apa yang saya maksud: montir
yang selalu diikuti kupu-kupu kuning, bayi yang lahir dengan ekor babi, atau
misal, tulang-belulang gadis muda dengan rambut puluhan meter di tengkoraknya.
Dalam KKMDMT
sendiri, bercerita tentang bocah bernama Birin yang kehilangan penglihatannya
karena terpacak pecahan kaca. Setahun setelahnya, ibunya meninggal dan
menyisakan Usup, pamannya, untuk menjadi ibu sekaligus ayah bagi bocah buta
yang tak pernah menangis itu.
Pada suatu kali,
Birin mengungkapkan bahwa ia baru bertemu dan mengobrol dengan Kakek Jibu,
jelmaan buaya penguasa sungai Jagabaya. Awalnya Usup tak percaya, namun itu
seketika terasa galib setelah Kakek Jibu muncul dari permukaan sungai.
Waktu melambat bagi
Usup. Pikiran dan perasaannya di antara percaya dan tidak percaya, tapi ia mau
bersabar kali ini. Tak berselang lama, permukaan sungai bergelombang. Sebuah
benda sebesar batang ulin berdiameter sehampir satu meter menyembul dari bawah
sungai. Tepatnya, seekor binatang. Buaya! Warnanya persis batang taradam dengam
lumut-lumut hijau tua. (hal 5)
Pijakan cerpen
tetap pada realitas, namun dibenturkan dengan sesuatu yang muskil, alih-alih
pembaca bisa menghayatinya dengan penuh kepercayaan sebagai fakta. Di situlah
mitos justru menemukan sifatnya yang ambivalen, bisa dianggap benar atau tidak.
Cerpen ini seolah membenarkan pernyataan Ahmad Tohari, bahwa banyak orang
beranggapan lokalitas selalu dekat dengan mitologis, tidak ilmiah, bersifat
tahayul.
Cerpen
"Tersungkur di Ladang Sawit" lain lagi. Ia berusaha menghadirkan yang
mitos tadi sebagaimana semestinya, wajar dan tak tersentuh magis. Sejatinya
cerpen ini bisa ditempatkan dalam kategori ekologis karena persikutannya
tentang lahan sawit, atau mitos tentang kekebalan, atau mungkin keduanya. Tapi
bagaimanapun, cerpen ini bisa dinikmati tanpa label apapun, karena menurut saya
ini adalah satu dari beberapa cerpen dengan plot yang tertatar secara rapi dan
mengalir.
Dalam "Rantai
Babi" begitu pula, tidak rancu dari kenyataan meski berasaskan mitos.
Terus terang, saya menaruh ekspetasi tinggi kepada cerpen ini. Berharap akan
menjadi cerita surealis atau fantastis tentang perburuan ataupun efek dari
jimat rantai babi. Tapi sampai akhir cerita, tak ada juntrungan akan ada
perihal semacam itu. Rantai babi jadi sekadar objek suatu konflik. Ia diolah
sepenuhnya realis dan bersitungkin dengan isu tambang.
Tema Sosiokultural dan Lainnya
Soekanto (2004: 3)
menyatakan bahwa sosiokultural adalah suatu wadah atau proses menyangkut
hubungan antara manusia dan kebudayaan. Di mana proses tersebut menyangkut
tingkah laku manusia dan diatur olehnya, terjadi proses saling mengikat antara
unsur-unsur kebendaan dan spiritual.
Unsur sosiokultural
juga membantu seseorang mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap
dirinya, serta apa yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan
mereka.
Dalam cerpen
"Menjemput Seno" sekat antara fiksi dan nonfiksi sekabur antara batas
malam dan siang di waktu senja. Bukankah seorang penulis pernah berujar,
"Tulislah yang dekat dengan dirimu sendiri."
Plotnya begitu
sederhana. Si "aku"--saya mengira adalah penulisnya sendiri--dalam
rencananya menjemput penulis beken nasional, Seno Gumira di Bandara dan
membantunya mencari rumah masa kecil temannya.
Cerita bersumber
dari pengalaman penulis sendiri yang diadon secara naratif. Karakternya sangat
nyata dan "telanjang"--dalam arti dijelaskan secara gamblang nama dan
segala macam--bahkan bisa disebut mengambil, atau lebih tepatnya merefleksikan
kenyataan yang berpiuh di kehidupan penulis. Kadang disebut langsung lewat
penamaan, semisal: Sandi Firly, Bu Nunung, bahkan Aruh Sastra dan detil yang
kita tahu.
Ini adalah
satu-satunya cerpen yang mungkin tak bisa didebat andai saya kepengin
menyebutnya memoar atau catatan harian sekalipun. Tapi bagaimanapun, penulis
sudah mengakui di kata pengantarnya bahwa ia tak hanya meninggalkan kisah-kisah
rekaan belaka. Semua ini pada akhirnya sebatas hikmah, rangkaian pertemuan dan
pengalaman yang direproduksi dalam cerita, tak sepenuhnya fiksi.
Seperti pernah
dikatakan Thomas Wolfe yang seringkali dituduh bahwa novel-novelnya hanyalah
otobiografi, ia bilang begini: "Segala
sesuatu dalam seni berubah dari kenyataan aktualitasnya oleh kepribadian si
seniman. Pengalaman dalam sastra harus menjadi pengalaman semua manusia. Semua
kerja kreatif harus didasari pengetahuan otobiografis. Orang harus menggunakan
bahan tulisan dari pengalaman hidupnya untuk menciptakan sesuatu yang bernilai.
Tetapi orang tak bisa menggunakan bahan pengalaman itu secara telanjang dan
langsung dalam novel. Ia tak bisa menceritakan suatu kejadian seperti pernah
terjadi yang sebenarnya. Segala sesuatu harus dirubah oleh visi pengarang.
Maugham mengakui bahwa cerpen-cerpennya yang terbaik, justruk keluar dari
pelaku orang pertama, artinya cerita yang berdasarkan pengalaman hidupnya
sendiri."
Pada cerpen
"Mencetak Matahari Terbit" memuat banyak referensi tentang lukis.
Referensi yang digunakan penulis sontak menjadi berjarak saat menceritakan
Jamal. Istilah seperti impression le soleil levant, atau nama-nama pelukis
semisal Monet, Vincent Van Gogh, Rembrandt maupun Picasso jatuh kepada fungsi
referensi sebatas dekor sebuah cerita. Ini tentu tak salah, hanya saja cerita
sendiri mengacu bukan tentang atau kepada seni rupa, namun bahkan sering
disebut adalah soal ketuhanan.
Lainnya terasa
mendistorsi saat hadirnya tokoh "aku" menyatakan sebagai seniman
dalam alinea terpisah, pembaca seolah dipaksa untuk melupakan cerita
sebelumnya. Padahal cerita tentang Jamal yang menjadi korban asusila dari ustaz
pondoknya begitu menarik, namun tetiba penulis bermain-main dengan referensi
untuk memberi kesan di kehidupan tokoh "aku" seniman, teman pondokan
Jamal di masa dewasanya.
Seterus dan
seterusnya adalah alur liner, sebelum bertolak menuju akhir, cerita kembali
menarik untuk dibaca.
Sebenarnya ada
beberapa cerpen lagi yang belum dibahas dalam JSMMA, namun karena
keterbatasan--keterbatasan waktu penulisan maupun keterbatasan waktu
acara--saya akan segera memberi kesimpulan.
Saya mungkin harus
mengakui bahwa hasil pembacaan cerpen-cerpen ini dilakukan secara tergesa-gesa
dan oleh karena itu, andai saya punya kesempatan menebusnya, saya akan
mengulang membaca dengan besar harapan menemukan hal-hal yang tak berhasil saya
telaah di sini--kekurangan maupun kelebihan.
Kita mesti bertepuk
tangan atau mengacungkan jempol, sebab penulis masih konsisten dengan tema
sejak kumpulan cerpen pertamanya "Angin Besar Menggerus Ladang-ladang
Kami" (penerbit Framepublishing) di tahun 2009, atau bahkan lebih lama.
Meminjam pengantar buku tersebut mungkin tepat. Ditulis oleh Raudal Tanjung
Banua:
Di tangan
Hajriansyah, lokalitas dan modernitas saling melintas, meski ujung-ujungnya
kemajuan yang diharapkan malah menggilas. Hal ini terlihat dari rusaknya alam
dan bergesernya tradisi yang dihayati secara kolektif. Antara kolektif dan
pencarian personal, di sanalah kiranya Hajriansyah menemukan momentum
kreatifnya. (Raudal Tanjung Banua, 2009)
Benar saja, bila
saya harus menciutkannya lagi, maka semuanya bermula atau bersumber dari satu
titik kecil bernama kegelisahan. Adapun dalam cerpen penulis mempunyai
kecenderungan menutup cerita berupa permenungan dan bumbu suasana. Terlepas
dari kekurangannya: fokus plot yang tak stabil, beberapa cerpen terkesan sangat
personal, itu bukan untuk mengatakan tak bagus. Hanya saja tak sempurna. Dan
mengharapkan kesempurnaan adalah kedunguan yang sepantasnya kita lempar segera
ke jamban.
Selalu akan ada
cacat, selalu akan ada kekurangan. Tapi menurut subjektif saya pribadi, cerita
yang bagus adalah cerita yang bisa saya selesaikan sampai halaman terakhir dan
tak mampat di tengah apalagi saat awal pembacaan. 10 cerpen di sini--terlepas
dari kewajiban saya sebagai pembedah--adalah 75 halaman yang sanggup saya
tuntaskan dalam dua hari pembacaan. Juga alasan lainnya, Bang Hajri adalah satu
dari sekian penulis yang selalu saya tunggu cerpennya, begitupun semestinya
publik sastra lokal, atau dalam lingkup yang lebih luas.
Setidaknya kita
bisa sedikit lega bahwa prosa masih menghela napas di tengah kekeringan
penerbitan sastra lokal--tak melulu puisi tak melulu onani.
(Gudang Hirang, 22 Januari 2021)
Musa Bastara, seorang jurnalis independen. Penikmat kafein, film, dan lagu. Pemimpi ulung. Tukang tidur kompetitif yang juga suka berleha-leha. Penulis juga aktif berkomunitas di Arkalitera, salah satu kebanggan terbesar dalam hidupnya.

0 Komentar