Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

Menafsir Puitika Hajri

 


Sejumlah impresi muncul ketika saya membaca puisi Hajriansyah dalam buku “Jalan-jalan, Senang-Senang, Mati Menjemput Abajada”(Tahura Media, 2021). Masing-masing puisi tersebut berjudul “Bebek Berdarah”, dan “Masa Muda Nan Bergaya”, Di puisi pertama, “Bebek Berdarah”, awalnya saya menduga bahwa puisi tersebut akan menyeramkan nantinya, atau setidaknya menggambarkan hal-hal yang erat kaitannya dengan pembantaian, penyembelihan, dan lain sebagainya, tapi ternyata dugaan saya terpatahkan. “Bebek Berdarah” tidak menggiring saya selaku pembaca untuk terjaga dalam ruang yang sesak oleh ngilu pesakitan, melainkan upaya merekam momen dari sebuah peristiwa keseharian di sekeliling kita, yang akrab dengan kita, Mari kita simak bersama puisi versi lengkap dari “Bebek Berdarah”:

BEBEK BERDARAH

di pasar raya merah meriah

anak lucu itu plengakplengok

dia bukannya tak ngerti jalan

cuma tuju tak tahu, malu

(bayangan apa yang tergambar dalam kepala penyair ketika menemu peristiwa seperti larik di atas? Mungkin hanya peristiwa remeh, melihat seorang anak kecil yang “plengakplengok” seakan tak tahu arah tujuan. Penyair bisa saja menduga bahwa anak itu mungkin mencari dan sedang berupaya menemukan sesuatu, tapi penyair tentu tidak sebatas ingin menghadirkan ulang peristiwa yang dilihatnya secara kasat mata, tetapi juga berupaya menawarkan peristiwa lain yang bakal merangsang imaji dalam kepala pembaca, kita lanjutkan ke baris berikutnya)

ah, bebek betelor setiap hari

si tuan serakah tergesa menanti

yang kerjanya tidur dan berebah

bedebah, bebek murah meriah!

(seakan terpisah dengan larik sebelumnya, peristiwa dalam larik-larik di atas justru menjadi penyebab mengapa si anak kecil di larik sebelumnya “plengakpengok, di pasar merah meriah, tak tahu tuju, malu”. Impresi saya mengatakan bahwa ternyata si anak sedang memantau sesuatu(bebek yang betelor setiap hari), yang barangkali sangat ingin dimilikinya, namun ia tidak bisa memperoleh hal itu karena ada “si tuan serakah”, tuan serakah merujuk kepada empunya bebek secara an sich, tapi bisa juga merujuk kepada hal lain, semisal seorang penguasa, hal ini bisa kita lihat pada larik “yang kerjanya tidur dan berebah”, sehingga di dalam bagian kedua puisi ini bisa tersirat beragam hal yang sifatnya kontekstual, entah itu situasi sosial di pasar, atau situasi sosial yang lingkupnya global, yang berkaitan dengan tata pemerintahan, sedangkan “anak kecil plengakplengok” dapat dibaca sebagai masyarakat yang mengalami krisis identitas, sehingga kesulitan untuk menemu arah tujuan dalam hidupnya, hal ini tersirat pada larik sebelumnya di bagian pertama, “dia bukannya tak tahu jalan, cuma tuju tak tahu, malu”. Pembaca wajib pula bertanya-tanya, seperti apa identitas si “tuan serakah” yang menyebabkan “anak kecil plengakplengok di pasar merah meriah” itu)

si pandir bebeknya dower

jalannya glowerglower

buntutnya sowersower

angkuhnya, uh, suka pamer

(saya sebagai pembaca menemu permainan rima di larik ini, yang tentu saja tidak dipaksakan dan diada-adakan, melainkan sebaliknya. rima dalam larik puisi di atas justru membangun efek puitika yang lancar dan memperkuat larik puisi di bagian sebelumnya. “si pandir” bisa juga dibaca sebagai identitas asli dari “si tuan serakah” di bagian sebelumnya, sehingga masih ada korelasi antara kedua pilihan diksi tersebut.)

jagung giling, bekatul, tepung

dedak, sorgum dan singkong

di pasar raya murah meriah

anak lucu tuju tak tahu malu, pamer

tak tahu malu:

menunggu giliran

direbahkan, lehernya berdarah

(entah karena ketergesaan atau hal lain, larik-larik puisi di bagian terakhir ini justru terkesan seperti berdiri sendiri dan terpisah dengan “dunia” yang telah dibangun sebelumnya. Kemana larinya si “tuan serakah” alias “si pandir” dan kenapa sekonyong-konyong mendetailkan suasana rill di pasar secara an sich nya? Padahal jika Hajri lebih sabar mengolah kembali suasana di bagian terakhir ini, pasti akan lebih makjleb dan tidak jatuh sebagai detail pasar yang menjual sayuran belaka. Menurut saya pribadi, larik “jagung giling, bekatul, tepung”, “dedak, sorgum, dan singkong” bisa dihilangkan dan langsung dimulai saja dengan “di pasar raya murah meriah, anak lucu tuju tak tahu malu, pamer tak tahu malu: menunggu giliran direbahkan, lehernya berdarah”, tetapi lagi-lagi terjadi kontradiksi di bagian penutup ini, apa yang sebenarnya ingin diucapkan Hajri melalui bagian pertama puisinya justru bertentangan dengan bagian penutup puisi, di mana si “anak plengakplengok” tak lagi berjalan di tengah pasar dan mencari sesuatu, tetapi telah direbahkan dan “lehernya berdarah”, berdarah karena apa? Karena direbahkan? Tidak ada clue bagi pembaca mengapa hal itu bisa terjadi, seakan ada kalimat lain yang sengaja dipangkas, atau bisa juga semacam strategi licentia poetica, tapi tetap saja terasa ganjil dan aneh. “dunia” yang dibangun di bagian-bagian sebelumnya sudah oke punya, tapi di bagian akhir justru kedodoran dan cenderung gagap berkata-kata, semoga di bagian revisi kelak ada pembenahan untuk larik terakhir di puisi “Bebek Berdarah”)

Di puisi kedua, puisi yang paling menarik perhatian saya sejak awal pembacaan, “Masa Muda Nan Bergaya”, Hajri cukup piawai memainkan nada humor yang dikemas dengan hubungan romansa antara sepasang muda-mudi, meski tidak disebut secara detail siapa muda-mudi tersebut, saya sebagai pembaca tetap bisa merasakan unsur romansa yang dibangun Hajri dengan penuh pertimbangan. Berikut adalah versi lengkap puisi “Masa Muda Nan Bergaya”:

MASA MUDA NAN BERGAYA

Boleh dong pinjam bulpennya

Buat apa? Buat nulis namamu

di hatiku! Anjiiiir…

Setelah itu Amat pulang, luka-

luka di hatinya serupa tusuk belati

pada dada. Menggores panjang sebuah nama

Tidur tengkurap menyilang lengannya, basah bantal

Basah mata hingga dada.

Konon, jembatan kayu

Menyeberangkan rindunya

Angin musim kemarau panas terasa

Dan malam-malamnya, gigil tak kuasa

Menahan cinta. Anjir, mellownya…

Boleh dong!

Amat, ia mendua. Satu cinta terlalu menyiksa.

Lilin-lilin usia meneranginya,

Hidup serupa alur sungai depan rumahnya,

Mendirus sekujur tubuh, menguras sepenuh sedih, luka

suka, bahagia

Merampingkan, merapikan kumal

baju dalamnya. Ohoy, makin bergaya…

Boleh dong!

Adik manis, siapa nama?

Beb! Kok pendek sekali?

Boleh dong!

Oh, beb, boleh aku bertanya

Apa?

Mana jalan ke rumah Tuhan?

Ihh, tinggi banget…

Boleh dong!

1 September 2021

Puisi “Masa Muda Nan Bergaya” mengingatkan saya pada puisi-puisi Remy Sylado dan Yudistira ANM Massardi, tapi Hajri, saya kira, adalah seorang penyair yang berhasil membebaskan diri dari pengaruh dua penyair itu, atau malah sebaliknya, ia mencerap pengaruh Remmy, mengambil beberapa gayanya, disertai dengan pengolahan sudut pandang yang lebih kekinian, “Buat nulis namamu di hatiku, Anjir…!” pemilihan kata “anjir” tentu digunakan dengan penuh pertimbangan, sehingga tidak ujug-ujug terpakai begitu saja. Hajri sengaja menggunakan “anjir” untuk menunjukkan bahwa puisinya memang mengambil sudut pandang anak muda, dan tentunya terasa lebih fresh dan kekinian.

“luka di hatinya serupa tusuk belati

pada dada. Menggores panjang sebuah nama

Tidur tengkurap menyilang lengannya, basah bantal

Basah mata hingga dada.”

Saya menduga Hajri sengaja membuat permainan rima yang cukup kentara agar nuansa romansa yang dibangunnya sejak awal dalam puisi kian bertenaga efek pukaunya. Di satu sisi, Hajri terlihat melankoli dengan larik-larik tersebut, tapi bagi saya, permainan rima menjadi kejutan tersendiri dalam puisi “Masa Muda Nan Bergaya”, sekaligus menegaskan bahwa puisi dengan unsur romansa tersebut ditulis dengan penuh keseriusan.

Konon, jembatan kayu

Menyeberangkan rindunya

Angin musim kemarau panas terasa

Dan malam-malamnya, gigil tak kuasa

Menahan cinta. Anjir, mellownya…

Boleh dong!

Hingga pembacaan saya sampai di bagian ini, yang dimaksud “nya” dalam puisi “Masa Muda Nan Bergaya” belum diberi clue yang jelas, sehingga ambiguitas yang ditimbulkan Hajri tampak terbebani oleh sesuatu, atau justru ia merasa canggung untuk memberi clue terlebih dulu kepada pembaca. Bagi saya, “nya” tak masalah digunakan, tapi ada baiknya sebutkan dulu clue di bagian pembuka puisi, sehingga ambiguitas yang dimunculkan terasa klop dan tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa sebenarnya si “nya” itu, apakah laki-laki atau perempuan.

Amat, ia mendua. Satu cinta terlalu menyiksa.

Lilin-lilin usia meneranginya,

Hidup serupa alur sungai depan rumahnya,

Mendirus sekujur tubuh, menguras sepenuh sedih, luka

suka, bahagia

Merampingkan, merapikan kumal

baju dalamnya. Ohoy, makin bergaya…

Boleh dong!

Identitas “nya” baru diperjelas pada bagian puisi di atas, dan tampaklah bahwa “nya”, yakni si “Amat” memiliki hubungan yang pelik dengan lawan jenis, hal ini terlihat pada larik “ia mendua, satu cinta terlalu menyiksa”, tokoh “Amat” yang hadir sebagai identitas dari si “nya” tampak tergesa-gesa dihadirkan, meskipun kelihatannya menarik pemilihan nama tersebut, tapi tetap saja terlihat seperti tiba-tiba, tanpa ada clue sebelumnya terhadap pembaca.

“Mendirus sekujur tubuh, menguras sepenuh sedih, luka

suka, bahagia

Merampingkan, merapikan kumal

baju dalamnya. Ohoy, makin bergaya…

Boleh dong!

Selain menghadirkan tokoh “Amat” dalam puisi “Masa Muda Nan Bergaya”, Hajri juga membangun makna berlapis dalam puisinya. Pertama, puisi “Masa Muda Nan Bergaya” dapat dibaca sebagai puisi berunsur romansa semata, dan yang kedua, puisi ini dapat pula dibaca sebagai aku-lirik yang mengalami berbagai peristiwa dalam kehidupannya, yang serupa “arus sungai depan rumah”(dapat pula ditafsirkan sebagai berbagai hal dan kejadian dalam kehidupan manusia yang cenderung tidak terduga, datang begitu saja) dan oleh karenanya aku-lirik terbiasa dengan kehidupan yang penuh dengan ragam hal tersebut, entah itu hal baik atau pun hal buruk, karena tubuhnya pun(secara fisik) sudah “menguras sepenuh sedih, luka, suka, bahagia”, yang artinya, aku-lirik sudah menerima dan melewati berbagai hal pelik, dan sudah menerima segala sesuatunya itu, karena ia percaya bahwa hal baik-buruk pada akhirnya akan “merampingkan, merapikan kumal baju dalamnya”, baju dalam bila dimaknai secara struktur kalimat bisa diartikan sebagai kaos dalam biasa, tapi berbeda hal nya jika dibaca secara lebih luas, maka konteksnya adalah jiwa, jiwa yang berada dalam badan, yang terbiasa “mendirus sekujur tubuh” dengan “sepenuh sedih, luka, suka, dan bahagia”. Dengan kata lain, frasa “merapikan kumal baju dalamnya” dapat dibaca sebagai upaya membersihkan fisik dan psikis dari segala hal, terutama hal buruk, yang acap datang ke tengah kehidupan kita.

Melalui ulasan sederhana atas dua puisi Hajriansyah yang telah diulas dan cukup menarik menurut saya, maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa puisi yang baik adalah puisi yang menawarkan pelbagai kemungkinan untuk dibaca dan ditafsir, baik dalam konteks puitika nya maupun konteks sosial yang melatarbelakangi tertulisnya sebuah puisi. Hajriansyah, salah satu dari banyak penyair Kalsel yang saya tahu, telah melakukan sejumlah “penawaran” kepada kita, publik pembaca, bahwa puisi, yang sampai hari ini masih terus bergema raungnya, bakal tetap berkembang biak dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkannya, tugas kita lah selaku pembaca untuk terus berkonsisten dalam melakukan pembacaan terhadap puisi, baik itu pembacaan individu(untuk konsumsi pribadi) atau pembacaan kritis(menelaah lebih jauh teks puisi) dan menjadikannya sebagai wahana kontemplasi cara berpikir kita dalam memaknai dan memandang kehidupan.[]

Muhammad Daffa, kelahiran Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 1999. Menulis puisi sejak pertengahan tahun 2015-sekarang. Bergiat di Kelas Puisi Bekasi(KPB). Puisi-puisinya dimuat Koran Tempo, Majalah Sastra Kandaga, Majalah Mata Puisi, Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Media Kalimantan, Harian Rakyat Sultra, Harian Analisa(Medan), Tribun Bali, asyikasyik.com, dan Radar Tasikmalaya. Buku puisi tunggalnya TALKIN(2017) dan Suara Tanah Asal(2018).

0 Komentar