| kulinerisme (rafii syihab) |
Jika bukan karena ilmu pengetahuan, kita tidak akan pernah tahu bagaimana cara manusia-manusia purba mengolah makanan. Kita beruntung punya sejumlah tokoh intelektual yang mampu menjelaskan asal usul manusia dan pelbagai urusan mereka di masa lalu, lengkap dengan sejumlah bukti dan fakta ilmiah dan mereka sanggup mempertanggung jawabkannya. Mereka, para intelektual itu, memperkenalkan kepada kita beberapa istilah yang enak bunyinya, agar dalam menjelaskan tentang asal usul manusia dengan segala persoalannya jadi lebih mudah. Salah satu istilah yang akrab di telinga kita ialah homo sapiens. Selain itu, dalam tulisan ini, izinkan saya menyebutkan sejumlah nama-nama intelektual. Kebanyakan dari mereka, saya yakin, sudah kita kenal.
Australopithecus—leluhur bagi manusia dan kera—kata Richard Leakey hidup dengan memakan tumbuhan. Ini terlihat dari struktur gigi mereka yang bentuk grahamnya tidak mirip kera; mahkota giginya tidak lancip tetapi rata, dan bentuk ini cocok untuk menggiling makanan. Pernyataan itu ada dalam bukunya yang berjudul, “Asal Usul Manusia”.
“Jelas sudah bahwa 2-3 juta tahun yang lalu makanan manusia berubah jadi lebih alot, seperti buah-buahan keras dan kacang-kacangan.”
2,5 juta tahun lalu, muncul spesies manusia lainnya dengan otak lebih besar dan perubahan pada gigi. Perubahan pada gigi-gigi itu barangkali disebabkan oleh kebiasaan makan yang berubah, dari hanya memakan tumbuh-tumbuhan lalu campuran antara tumbuhan dan daging.
“Perubahan struktur gigi Homo purba menunjukkan adanya kebiasaan makan daging, sebagaimana ditunjukkan juga oleh penyempurnaan teknologi perkakas batu,” tulis Leakey.
Kita pun akhirnya mengenal satu istilah lagi, yakni Evolusi. Kali ini saya akan meminjam pandangan seorang penulis sains populer dan ahli biologi evolusi asal Inggris, yakni Richard Dawkins.
“Di antara hewan, manusia menjadi unik karena didominasi oleh budaya dan pengaruh lain yang dipelajari dan diwariskan,” ujar Dawkins dalam bukunya The Selfish Gen. Di buku itu Dawkins menyampaikan beberapa alasan mengapa kita memiliki gen—atau cenderung bersikap egois. Kalau ada waktu luang, bacalah buku itu. Ada banyak pengetahuan menarik di sana.
Di luar urusan makanan, dibandingkan dengan spesies lain homo sapienslah yang paling unggul. Kita tidak pernah mendengar kalawait atau beruk atau tupai membaca puisi dan tidak mungkin juga kita menemukan kumpulan puisi bersama yang ditulis oleh hewan-hewan tersebut. Mereka tidak bisa membuat cerita-cerita, tidak mengeluh, tidak cerewet, dan tidak memiliki gagasan tentang bagaimana semestinya kehidupan ini berjalan.
Homo purba, misalnya, tidak mau repot memikirkan bagaimana mengolah makanan dari tumbuh-tumbuhan agar enak dimakan. Karena hal demikian tidak ada dalam pikiran mereka. Mereka hanya bisa memamahnya sampai halus, tentu saja halus menurut ukuran mereka, lalu menelannya. Segala yang mereka makan masih mentah. Mereka melakukan itu terus menerus sampai nanti dan akan berhenti ketika mereka sudah menemukan alat-alat untuk mengolah makanan seperti api dan batu. Bagi manusia, spesies paling unggul tadi, bahwa dalam pengolahan makanan tidak hanya mempertimbangkan aspek biologis, untuk bertahan hidup. Homo purba, tentu saja tidak pernah membayangkan bahwa jutaan tahun kemudian makanan yang berasal dari haiwan-haiwan dan tumbuh-tumbuhan berubah jadi gaya hidup: estetika dan seni. Dalam dunia fotografi, misalnya, ada istilah food-fotography. Dalam dunia hiburan di televisi ada master chef, dua-duanya jelas berada di bawah pertimbangan bisnis.
Selain dikenal dengan sebutan homo sapiens, spesies kita juga disebut sebagai homo ludens—makhluk yang bermain. Johan Huizinga adalah orang yang memperkenalkan istilah itu. Manusia bisa melakukan permainan fisikal seperti sepak bola, bulu tangkis, tenis meja, dan lain-lain. Beruk bisa dilatih agar bisa dan lihai bermain bola voli, tenis meja, bulu tangkis atau balapan motor. Tetapi Beruk dan sebangsanya mustahil bermain-main dengan pikiran melalui cerita-cerita.
Maksud saya begini: Siapa yang menduga bahwa makanan bisa membuat seseorang berubah jadi hantu? Pertanyaan itu tampak mengada-ada, tetapi ia benar-benar terjadi menurut cerita dan peristiwa yang pernah saya dengar dan saksikan, setidaknya.
Di kampung saya sendiri ada orang-orang yang mengaku, secara terang-terangan, bisa berubah wujud jadi hantu jika dua peristiwa sedang dan akan terjadi: Ibu-ibu melahirkan dan seseorang meninggal dunia.
Jika ada ibu yang hendak melahirkan, sementara seseorang yang bisa berubah jadi hantu itu adalah seorang perempuan, ia akan datang ke tempat tinggal orang yang hendak melahirkan sebagai seorang bidan kampung. Di sana ia akan terlihat sama saja dengan para tetangga yang datang. Tetapi jika diperhatikan secara serius, air mukanya seakan-akan sedang berusaha menyembunyikan sesuatu atau, yang paling kentara, ia tampak gelisah dan tak tahan ditatap matanya berlama-lama.
Peristiwa kematian seseorang pun sama. Ia juga akan datang ke sana sebagai orang biasa dan membantu menyiapkan perlengkapan kematian. Biasanya ia seorang laki-laki, dan dengan begitu ia jadi lebih mudah menyembunyikan perangainya, bahwa ia adalah seseorang yang bisa berubah wujud—meski tidak pernah menampakkannya di depan umum.
Sebelum berangkat ke salah satu dari dua peristiwa itu mereka akan merasa demam, menggigil, perasaan yang amat gelisah, lalu segar kembali dalam sekejap dan pergi begitu saja. Mereka lebih peka dan sensitif dengan peristiwa kematian seseorang di tempat jauh dibandingkan dengan peristiwa yang sedang terjadi di dekat rumah mereka.
Saya hampir tidak percaya dengan cerita seperti itu, tetapi tetangga saya adalah seorang bidan kampung dan pernah berteriak minta tolong kepada kami yang sedang bercakap-cakap di teras. Pada saat ia mencuci sarung yang masih berlumuran darah orang melahirkan di sungai belakang rumah ditarik oleh seseorang. Tentu saja ia melawan dan tidak membiarkan sarung itu direbut. Saat kami tiba di sungai tempat ia mencuci, seseorang itu sudah tidak ada di sana, dan si bidan kampung mengaku kenal dengan seseorang tersebut.
“Meski ia menutupi wajahnya dengan rambut,” katanya. Lalu ia menyebut nama orang tersebut. Kampung kami kecil dan mustahil bagi kami yang bercokol di sini sejak kanak-kanak tidak mengenal nama yang ia sebutkan.
Berdasarkan pengalaman itu, beberapa waktu setelah peristiwa itu saya dan sejumlah teman memutuskan untuk tidak tidur semalaman ketika ada kerabat kami yang hendak melahirkan. Kami duduk di ruang tamu dengan senter yang bertengger di kepala. Di kolong rumah, api masih menyala sejak sore dan ketika jam dinding menunjukkan pukul sepuluh, kami membuka tutup lobang di sudut ruangan—lobang kecil yang lazim ada di setiap rumah untuk membuang debu-debu—lalu membuang cairan rundap di situ. Hal itu dilakukan agar si hantu jadi-jadian itu sakit perut dan besok ia akan bolak-balik ke jamban. Ia biasa mengisap dan menjilat apa pun yang ada di kolong rumah. Jelas ia mengincar darah orang melahirkan.
Setelahnya, paman saya—para tetangga sering memanggilnya Julak—menceritakan asal usul orang-orang yang bisa berubah wujud jadi hantu ini. Ceritanya panjang sekali, tetapi saya akan ceritakan sedikit.
Sekurang-kurangnya satu abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1920, di sebuah desa terpencil di ujung sungai Barito, penduduk desa dihebohkan oleh penemuan ikan sebesar tong air bermuatan 1000 liter dan panjangnya hampir 5 meter yang tidak diketahui namanya, tetapi saat itu juga mereka sepakat menamai ikan itu ‘Lauk En’ dalam bahasa Ngaju, dan jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Ikan Apa’.
Orang-orang desa berkumpul di tepi sungai menyaksikan proses penangkapan ikan tersebut. Setelah ‘Lauk En’ berhasil ditangkap, empat lelaki dewasa bertugas menyianginya dan memotong-motongnya untuk dibagikan kepada para penduduk. Tetapi niat itu berubah ketika datang seorang sepuh menyarankan untuk tidak usah dibagi sebelum dimasak.
“Lebih baik kita masak sama-sama dan makan sama-sama di Balai Desa, sebagai ucapan terima kasih kepada Hatalla,” kata orang sepuh itu.
Malam itu mereka memasak bersama-sama dan makan bersama di balai desa. Pemandangan itu sama seperti acara syukuran setelah panen atau ritual adat lainnya. Mereka memasak ikan itu dengan bumbu kari kental dicampur humbut irit, tumbuhan hutan yang pahitnya sama seperti pucuk pepaya tetapi teksturnya jauh lebih empuk dengan after-test yang awet di lidah.
Acara makan bersama sudah selesai. Di dapur, masakan masih banyak, karena tidak mungkin dihabiskan maka mereka membagi-bagikannya ke para tetangga.
Kehebohan yang dibawa oleh ‘Lauk En’ ternyata belum selesai.
Seorang tetangga yang bersiap-siap hendak sarapan sebelum berangkat ke sawah pada pagi hari menemukan potongan-potongan ikan itu sudah berubah jadi jari-jari tangan dan kaki dan telinga dan hidung manusia yang juga terpotong-potong. Sebetulnya ia tidak mau meributkannya, dan ia ingin memastikan apakah para tetangga juga menemukan hal yang serupa. Dari rumah ke rumah ia memastikan peristiwa itu, dan begitu seterusnya hingga tiba suatu sore yang mengejutkan: Semua orang yang memakan ‘Lauk En’ berubah jadi hantu meski tidak saling serang.
Selanjutnya, di tempat terpisah dan waktu yang jauh jaraknya, seseorang yang berubah jadi hantu karena makanan juga terjadi di kampung saya.
Setelah hidangan di hadapannya habis, piring sudah dicuci, saat hendak menyalakan rokok ia berkata pada ibunya:
“Pucuk singkong tumbuk dengan sedikit kuah dan daging ayam kampung ternyata enak juga, ya, bu.”
“Tidak ada ayam dalam masakan itu,” kata ibunya terkejut.
“Lalu, dari mana asal usul ayam yang kumakan barusan?”
Ibunya menggunakan jawaban yang ia lontarkan sebelumnya untuk membantah bahwa tidak ada daging ayam kampung dalam masakan itu, dan percakapan berhenti sampai di situ.
Dia bernama Atak Bajang dan masih bujang meski usianya sudah melewati 40: ia hidup berdua saja dengan ibunya. Di kampung kami ia terkenal dengan bogemnya yang sanggup menyeret seseorang ke kematian, hanya dengan sekali bogem. Tetapi itu belum apa-apa dibandingkan dengan ketenarannya yang lain, yakni bisa berubah wujud jadi hantu.
Semua berawal dari suatu senja yang hening ketika ia baru pulang dari kebun karet dan langsung menuju dapur, membuka tudung saji di atas meja dekat jendela yang selalu terbuka. Pucuk singkong tumbuk memang menu favorit, apalagi jika dicampur dengan sayur-sayur lain seperti jagung muda yang diiris tipis, atau meski hanya dicampur dengan mi instan dan goreng ikan asin pun masih sanggup bikin seseorang lupa bagaimana cara berhenti sebelum hidangan di hadapan betul-betul tandas.
Berbulan-bulan kemudian setelah ia merasa ada perubahan pada dirinya--perubahan yang ia alami karena kebiasaannya sendiri. Ia menemui seseorang yang dipercaya bisa membantunya memecahkan persoalan. Orang yang ia temui itu semacam guru spiritual, dan kepada sang guru ia menceritakan awal mula peristiwa itu terjadi.
Setelah selesai bercerita, tak butuh waktu lama, sang guru spiritual pun menemukan jawaban. Sang guru spiritual menyampaikan nasihat bahwa tidak baik makan di saat matahari belum benar-benar tenggelam.
“Kau tahu,” katanya, “makan di waktu matahari belum tenggelam benar adalah memberi peluang bagi seekor iblis untuk melancarkan kejahatannya.”
Dia percaya dan meyakini apa yang disampaikan oleh sang guru bahwa iblislah yang membuatnya jadi seperti itu: iblis mengirimkan sihir lewat seiris daging ayam ke dalam goreng singkong tumbuk di waktu matahari belum tenggelam benar.
Sampai di situ, informasi yang saya dapatkan beragam. Sebagian masih masuk akal dan karena itu saya percaya, sebagiannya lagi terlampau sempurna buat dipercaya. Yang masuk akal bagi saya adalah peristiwa 10 atau 20 tahun lalu ketika desa kami belum ada listrik dan sinyal telepon genggam. Malam itu saya dan teman saya sedang dalam perjalanan pulang dari rumah guru SMP setelah membantunya membereskan alat-alat penangkap ikan. Jarak yang kami tempuh sekitar satu kilometer lebih. Di jalan menuju rumah, sekiranya ada 10 meter di depan kami ada seseorang berjalan ke depan dengan kepala menghadap ke arah kami. Ia muncul tiba-tiba dari gerumbul semak. Kami sempat berhenti sejenak dan saling menatap. Saya mengarahkan cahaya senter ke wajahnya, saat itulah saya ingat apa yang dikatakan bidan kampung dulu. Orang yang di depan kami adalah orang yang sama dengan yang dikatakan bidan kampung.
Ia berjalan lambat sehingga jarak kami sudah semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat. Saya dan teman saya saling tatap beberapa saat, dan dalam hati saya berhitung, “1, 2... Pada hitungan ketiga saya akan lari.” Saya tidak peduli apakah teman saya mengerti dengan tatapan saya itu..., 3 ternyata teman saya lari lebih dulu dan lebih cepat dari saya.
Yang tidak masuk akal bagi saya ialah cerita tentang Atak Bajang dan seorang kawannya yang bisa juga berubah wujud. Konon, si kawan adalah hantu paling disegani di semesta mereka, dan Atak Bajang pernah bercerita bahwa jika hujan deras, dan mereka sedang berada jauh dari desa, Atak Bajang akan bernaung di bawah telinga si kawan. Atau jika ada dalam bahaya yang memaksa mereka harus lari, Atak Bajang akan memeluk telinga si kawan, sebab langkah kaki si kawan ketika berlari sama cepatnya dengan lompatan seekor iblis ketika menerkam anak-cucu Adam yang lupa diri.
Cerita tentang orang-orang yang bisa berubah jadi hantu karena makanan di atas membuktikan sekali lagi bahwa manusia adalah makhluk paling unggul dibandingkan makhluk lain. Realitas memang rumit karena manusia berjalan dengan pikiran, tetapi kita bisa mempelajari dan menguji fakta-fakta yang kita temukan di lapangan—bisa dengan pengalaman empiris atau pengalaman intelektual.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan meminjam fragmen dalam novel “Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi” karangan Yusi Avianto Pareanom. Dan, dengan demikian urusan saya sebagai narator sudah beres. Sekarang giliran Anda membereskan urusan Anda, sebagai pembaca.
“Dari kiri ke kanan, atas ke bawah, Raden Mandasia berturut-turut akan meletakkan potongan lamusir rusuk keempat sampai kedua belas yang lunak berkat butiran lemaknya dan yang sangat enak jika dibakar atau dibuat sup, daging tanjung dari tulang punggung belakang yang nikmat jika dipanggang atau digoreng bumbu taosi, daging paha depan dengan potongan segi empat setebal dua sampai tiga ruas yang enak diolah setelah dicincang, beberapa potong daging iga—jumlahnya tak pasti karena kadang ia kepingin mencicipi sepotong dua—yang selain gurih dan empuk jika dibakar juga sedap jika dibuat sup atau semur, daging penutup atau paha belakang sapi dekat pantat yang sangat kurang lemak sehingga terlalu liat jika dibakar atau dipanggang tetapi cukup sedap jika dijadikan campuran makanan olahan lain atau ditumpuk menjadi daging lapis bakar setelah dicincang terlebih dahulu, daging punuk dengan seratserat kasarnya yang cocok dikukus atau dimasak asap, daging leher atau sampil yang bisa dibakar atau direbus dengan santan dan gula, daging sampil kecil dari bahu atas dan bawah yang dipotong segi empat dan cocok diolah menjadi kari atau oseng-oseng, daging kijen berbentuk kerucut yang lumayan empuk dengan lapisan kulit tipisnya yang gurih jika dibakar atau dibuat oseng-oseng, sandung lamur atau daging agak berlemak dari dada bawah sekitar ketiak yang paling mengundang selera jika dimasak dengan cabai hijau atau diolah menjadi masakan asam pedas manis lainnya, daging gandik atau bagian paha belakang terluar yang selain sedap digulai juga cocok dibuat abon atau dendeng, daging kelapa atau daging yang berasal dari paha belakang bagian atas yang bisa dipanggang, daging sancan atau daging otot perut yang panjang datar liat yang setelah dipukul-pukul bisa dibakar atau diiris tipis-tipis untuk tumisan dengan campuran berbagai sayur, daging sengkel dari bagian depan atas kaki sapi yang bisa dimasak sup atau soto atau bola-bola daging, daging buntut yang sudah pasti mantap bila disup, potongan kaki yang tak terlalu buruk jika dijadikan sup bersantan, dan terakhir—atau di bagian kanan bawah—jeroan yang terdiri atas jantung, paru, limpa, ginjal, babat, dan usus yang pas untuk gorengan, baceman, gulai, atau soto.”**
Esai ini terbit pertama kali sebagai kata pengantar untuk Antologi Puisi Gabin Barandam yang terbit pada tahun 2020.
Abdul Karim, seorang penulis cerpen, puisi dan esai. Aktif berkomunitas di Arkalitera.

0 Komentar