Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

Jalan-Jalan, Senang-Senang: Melihat Hajriansyah Menjemput Abajada

 


Jalan-Jalan, Senang-Senang, Mati Menjemput Abajadaadalah buku kelima Hajriansyah, atau yang biasa disapa Pak Hajri, entah, saya orang baru di lingkungan para pegiat sastra di Kalimantan Selatan dan saya tidak akrab dengan beliau kendati kami berteman di Facebook — secara langsung, saya belum mengenal sosoknya. Satu hal yang pasti, penulis buku kumpulan puisi yang akan saya ulas ini merupakan salah satu sosok berpengaruh di kesesustraan Banjarmasin pada khususnya, dan Kalimantan Selatan pada umumnya. Terlebih, sejak tahun lalu, menjabat sebagai Dewan Kesenian Banjarmasin. Melihat latar belakang serta sepak terjangnya, sudah barang pasti ia bukan orang sembarangan. Dalam biografi singkat yang tertuang dalam buku ini, ia merupakan lulusan S2 program studi Akhlak Tasawuf di UIN Antasari. Lebih lanjut, ia juga tercatat pernah mengenyam pendidikan di UST Yogyakarta dengan fokus Seni Rupa, yang saya kira sudah cukup untuk mematenkan keahliannya dalam bidang seni — tak terkecuali seni tulis-menulis atau sastra, dalam hal ini, cerita pendek dan puisi. Ya, Hajri nampak sangat menikmati waktunya berkubang dalam kesenian baik itu karya lukis atau tulis. Berpuluh-puluh atau bahkan mungkin berates-ratus karya lukis dan empat buah buku sebelumnya, serta buku kelimanya ini adalah bukti konkret.

Saya sendiri sangat menyukai dan mengagumi karya seni, baik itu berbentuk lukisan, atau karya sastra berbentuk prosa dan puisi. Dan, saya sangat takjub dengan orang-orang yang secara konsisten mampu menghasilkan karya di kedua bidang tersebut. Tidak banyak individu yang dibekali oleh Tuhan kemampuan untuk melukis dan menulis dalam sepasang tangan. Di ranah dunia, mungkin saya lebih akrab dengan nama Rabindranath Tagore, penulis Gintajali dan Vocation peraih nobel sastra pada 1913, sekaligus pelukis Dancing Woman, seniman asal India itu, Victor Hugo dengan puisi-puisi romantisme serta lukisan jamurnya, Hans Christian Andersen, Leo Tolstoy, atau Herman Hesse. Beberapa nama yang karya-karya puisinya pernah saya baca sewaktu duduk di bangku kuliah. Tidak banyak yang saya tahu. Di Kalimantan Selatan sendiri, yang saya ingat hanya Sandi Firly, seorang penulis yang juga memiliki kemampuan melukis.

Kembali membahas buku kumpulan Jalan-Jalan, Senang-Senang, Mati Menjemput Abajada yang saya anggap cukup unik karena memiliki dua sisi yang berbeda. Terus terang saya agak bingung ketika pertama kali memegang lalu membuka isinya. Buku setebal 142 halaman ini memiliki dua buah wajah: cerpen dan puisi (atau puisi dan cerpen?), 86 halaman berisi kumpulan cerita, dan 56 untuk kumpulan puisi. Nah, dalam tulisan ini, saya hanya akan berfokus pada bagian puisi yang mempunyai 40 judul. Tidak semua puisi bisa saya ulas. Hanya beberapa buah puisi yang saya anggap mampu mewakili keseluruhan wajah puisi dalam buku ini.

Puisi-puisi yang disajikan Hajri dalam buku ini, secara garis besar merupakan sebagian atau seluruh pengalamannya dalam berkehidupan. Puisi-puisi yang juga menandai keberadaannya di suatu tempat, di suatu waktu, di tengah perasaan-perasaan tertentu. Misalnya perenungan serta pandangannya soal lingkungan yang ia tuangkan dalam puisi Lelatu Hutan yang Terbakar Kuingat Wajahmu (140), Sungai Kecemasan (130), Rahman (117), Zikir Sunyi & Nama (114) Anak-anak Sungai (107), Dikurung Kurung-kurung (101), Hutan Manipulasi (99), serta Hujan di Bulan Desember (97) .

Pada Lelatu Hutan yang Terbakar Kuingat Wajahmu, Hajri membawa pembaca untuk menyelami keberadaan Tuhan melalui keheningan di bait pertama.

Dengan suara keheningan, rindu
yang membawamu pulang. Lorong
yang teramat panjang, gelap
dan dalam

Dengan menyinggung masalah kebakaran hutan di bait keempat,

Arus yang dingin, percik api membakar jantung
Ladang angin meniup lelatu, hutan yang terbakar
kuingat wajahmu

Puisi ini bisa terbaca dan terdengar manis sekaligus pilu karena penyair berhasil memadupadankan konteks lingkungan dengan sentuhan religius, atau sebaliknya. Hal ini cukup jarang ditemui pada puisi lain.

Narasi yang mirip juga ditemukan pada puisi Sungai Kecemasan (130)

Ponton batu kecemasan
menggunung dan menenung
sayap rajawali patah pohon
tumbang gunung terbelah.
Maka, “tumbuhkan, rawat
dan mekar semarakkan.
Keajaiban milik-Mu, sumber
kemerdekaanku. Amin

Serta di Hujan Bulan Desember (97)

Arus pasang naik
Dipompa jantung di hulu
Pohon-pohon yang rebah
Di tubuhnya yang basah
Kulitnya cendawan mereka
Anak-anak sungai yang indah
Memanjang terus ke bawah rumah
Rendam kakimu tumbuhlah kata-kata

O Tuhan, betapa indah
O Tuan, betapa resah

Dalam kutipan dua puisi di atas seolah tergambar gejolak emotif penyair berkenaan dengan keadaan lingkungan yang semakin porak. Di sisi lain, ia juga menampilkan sisi religius sebagai seorang hamba Tuhannya.

Tema lingkungan dengan sentuhan ketuhanan hanya salah satu dari beberapa puisi bernuansa religi dalam kumpulan ini. Ada cukup banyak terekam kehambaan dan keislaman penyair dalam karya puisinya di buku ini, baik melalui gaya bercerita, ataupun melalui pilihan diksinya.

Puisi yang dipersembahkan untuk Ibnu Arabi misalnya, Kalau Kau, dan (126) merupakan bentuk dedikasi atau penghormatan seorang muslim kepada Syeikh Al-Akbar. Atau dalam Qawwali (113) yang dipenuhi pujian kepada yang Khalik. Diksi-diksi dalam puisi Qawwali adalah sanjungan, bukti tawakkal, serta bunyi kerinduan penyair kepada yang menciptakannya dari awal hingga akhir.

Aku memanggilmu wahai jiwa yang suci…

Berlepaslah dari urusan makhluk
berharap sepenuhnya dari kuasa kasih al-Khalik

Qawwali hanya salah satu dari beberapa puisi Hajri yang menggunakan kata yang berasal dari bahasa Arab atau istilah-istilah yang masih berhubungan dengan bahasa Arab dan Al-Quran. Dalam Zikir Sunyi dan Nama (114), penyair menambahkan alfatihah dan yasin, dua surah akbar dari al-qur’an sebagai bagian dari bait pada syairnya, juga muawwidzatain yang mendahului sepi, sunyi, lelap.

Almar’u Ma’a Man Ahabb (96) yang mengisahkan kematian dan Hayyun Tahura (89) yang meriwayatkan kehidupan juga menggunakan bahasa Arab sebagai judul. Selendang Bushiri Mengibas di Depan Mataku dan Aku Rindu kepada Sebaik-baik Manusia (88) agak lebih kompleks dengan pujian dan narasi yang lebih panjang. Judul pada puisi ini tercatat sebagai yang paling panjang, begitu pula dengan puisinya. Puisi yang berjumlah 16 larik ini berisi sanjungan, doa, atau salawat.

Segala puji bagimu, wahai Tuhan…

Mahasuci engkau, wahai Tuhan…

PujianMu, wahai Tuhanku…

Yang masing-masing berada di awal bait 1,2, dan 3 sebelum memasuki hikayat Imam Bushiri, penyair sekaligus penulis Kasidah Burdah di bait-bait berikutnya. Pada bait ke-12, 14, dan 16, penyair menuliskan pujian melalui syair salawat berbahasa Arab.

Alhamdulillahi munsyil khalqi min adami
tsummas shalatu ‘ala man halla fil harami

Mawlaya shalli wasallim daiman abada
ala habibika khairil khalqi kullihimi

Ya rabbi bil mushtafa balligh maqasidana
Waghfirlana ma madha ya washi al karami

Sementara untuk puisi berjudul Abajada (137), saya tidak menemukan kata tersebut di mana pun, kecuali mungkin yang mendekati, yaitu abajadun (dari bahasa Arab) yang memiliki terjemah sebagai rentetan huruf Hijaiyah yang menunjukkaan makna bilangan angka.

Kata abajada juga termuat di bait terakhir puisi berjudul Abajada tersebut

Kota mati kota tumbuh, jalan kesemrawutan.
Kugambar di atas kertas basah, tinta merekah
bayang membayang di atas tanah:
Abajadaku menjelma tuah!

Penyair nampak memainkan simbol-simbol tertentu, dalam hal ini abajada untuk menandai lisensi puitiknya. Puisi Abajada memberikan penuturan tentang hidup. Dalam konteks ini, abajada barangkali disimbolkan sebagai sesuatu yang mewakili perjalanan, usia, atau proses hidup seseorang maupun sesuatu.

Beberapa kutipan serta sedikit pembahasan dari puisi-puisi di atas agaknya menyiratkan penyair yang merupakan penuntut ilmu di salah satu kampus islam di jurusan ilmu keislaman, yang sudah barang tentu tidak asing dengan bahasa Arab serta sejarah keislaman dan tokoh-tokoh islam.

Pada beberapa puisi berisi nasihat seperti Perjalanan (136), Wasiat Radam di Mulut Balian (102), dan Percaya (92), sentuhan religius atau keyakinan penyair masih konsisten ditampilkan. Misalnya dalam puisi perjalanan yang berbunyi:

O hai, jauh perjalanan dekat
sepemandangan. Jarak mata
dan hati ribuan kilo, tak cukup
kaki. Angkat sayapmu, pejalan,
angkat lebih tinggi!

Penyair seakan-akan sedang memberi nasihat kepada umat manusia secara umum, dan orang islam secara khusus untuk selalu bersabar dalam menghadapi setiap cobaan hidup. Sementara Wasiat Radam di Mulut Balian menawarkan bait yang berisi keyakinan dalam suatu kebudayaan melalui diksi-diksi yang berkaitan dengan hal mistis seperti roh leluhurgelang hiyangbalian, dan dupa yang erat kaitannya dengan kebudayaan Dayak. Puisi Percaya (92) ditulis lebih sederhana. Kata Percayakah direpitisi sebanyak 14 kali oleh penyair menandai nasihat yang secara implisit ia nyatakan pada baris kalimatnya kepada pembaca atau audiens dalam mempertanyakan keyakinan mereka terhadap Tuhan.

Perjalanan ke satu tempat yang dilakukan oleh penyair juga ia tuangkan dalam buku ini. Dalam Kantawan Si Menjulang (105) misalnyaia menuturkan perjuangan mendaki Kantawan, gunung berbatu di daerah Hulu Sungai Selatan, atau di dalam Loksado di Riam yang Deras (103), mengenai rasa takjubnya pada wisata Loksado.

Dari 40 puisi yang ditulis penyair dalam buku Jalan-Jalan, Senang-Senang, Mati Menjemput Abjada ini, saya sangat tertarik dengan dua buah puisi yang berjudul Jalan-jalan, Senang, Mati Tak Ada Kehilangan di Mata Ibu (120) dan Suara Telaga Kejernihanmu (139) yang masing-masing keduanya menggunakan apostrof kontraksi (‘), penghilangan bunyi huruf pada suatu kata. Kata ber-apostrof yang saya maksud ada pada bait ketiga dalam Jalan-jalan, Senang, Mati Tak Ada Kehilangan di Mata Ibu

… Terbayang hanya nama, seseorang t’lah mati.

Dan bait ketiga pada Suara Telaga Kejernihanmu

… baik buruk ucapan ‘nusia, kecuali kejujuranmu. Pandanglah!

Kata-kata seperti t’lah (telah), ‘kan (akan/bukan), ‘makin (semakin), ‘lum (belum), ‘tuk (untuk), dan‘slama (selama), mungkin cukup umum ditemukan dalam tulisan informal. Namun, kata ‘nusia yang adalah bentuk ber-apostrof dari manusia belum pernah saya temukan di karya tulis lain. Dalam hal ini, penyair memberikan warna tersendiri dalam puisinya. Kata nusia cukup asing jika dibaca mata pembaca umum, tetapi kata itu sangat akrab bagi Urang Banjar yang memang sering melafalkan kata manusia dengan nusia. Saya tidak tahu betul alasan penyair lebih memilih menulis ‘nusia ketimbang manusia pada puisi tersebut. Barangkali karena ia ingin menambah kesan ‘kebanjaran’ dalam karyanya.

Kata dengan apostrof yang ditulis oleh penyair dalam dua puisi tersebut menambah kesan unik tersendiri bagi saya. Dewasa ini, sepertinya jarang didapati penyair yang menulis kata-kata dengan apostrof dalam puisinya. Sedangkan, apostrof sendiri diperbolehkan PUEBI. Apostrof sendiri umum dijumpai dalam lirik lagu. Di Indonesia, karya tulis dengan apostrof cukup lazim digunakan pada zaman ejaan Van Opheijsen atau ketika ejaan masih belum disempurnakan. Saya memukan kata-kata ber-apostrof dalam beberapa karya Amir Hamzah.

Berbeda dengan penggunaan apostrof di Indonesia yang lebih menekankan pada penghilangan bunyi serta penyempurnaan penyebutan, dalam sastra Inggris klasik, apostrof lebih sering digunakan untuk menekankan pengumpamaan dalam suatu kalimat pada karya sastra. Misalnya seperti yang tertulis dalam Sonnet 18 William Shakespear juga pada beberapa karya Edgar Allen Poe.

Ada banyak warna dan keunikan yang ditawarkan oleh buku Hajriansyah ini. Selain yang saya tuliskan di atas, buku ini juga mampu menambah perbendaharaan kata para pembaca dengan pilihan diksi yang kurang umum digunakan oleh penyair ataupun penulis lain. Saya mencatat sekurang-kurangnya ada 29 kata yang belum saya temukan dalam tulisan lain. Kata-kata yang saya maksud seperti muwajahah, menenung, darwis, sonder, kiambang, hingga salik. Bahkan dalam puisi Bebek Berdarah (128) penyair menggunakan bahasa santai dengan pilihan kata antimainstream seperti yang sering dijumpai pada puisi-puisi Joko Pinurbo.

Di pasar raya merah meriah
anak lucu itu plengak-plengok

Si pander bebernya dower
jalannya glower-glower
buntutnya sower-sower

Puisi Bebek Bedarah dalam buku ini bagi saya adalah puisi yang paling unik dibandingkan puisi-puisi lain meskipun Masa Muda dan Bergaya (132) juga agak menggelitik.

Ya, buku berdimensi 14x21 cm ini memang banyak menawarkan kelebihan seperti two in one, ciri khas yang ditawarkan, kekayaan, dan keunikan sebagaimana yang saya uraikan sebelumnya. Namun, bukan berarti buku ini tidak memiliki kekurangan. No rose without thorn, tak ada gading yang tak retak. Kekurangan pertama dari buku ini barangkali datang dari kelebihannya sendiri. Menurut saya, buku ini cukup sulit untuk dinikmati oleh pembaca yang baru mengenal puisi. Banyaknya istilah-istilah yang jarang atau bahkan tidak pernah ditemukan atau dibaca pada tulisan lain akan membuat pembaca awal kebingungan dan membuat mereka mencari arti kata ‘segar’ tersebut ketimbang menangkap makna atau amanat yang disemai oleh sang penyair. Penyair beberapa kali menggantung kata-kata yang ‘segar’ itu dalam frasa atau kalimat tanpa memberikan isyarat atau gambaran lebih lanjut mengenai diksi tersebut.

Kekurangan selanjutnya, barangkali tidak bisa secara mutlak disebut sebagai kekurangan, karena kembali lagi, puisi adalah karya tulis yang dinamis dan penyair memiliki lisensi puitis di tangannya. Namun, hal ini tetap mengganggu saya.

Penyair beberapa kali menggunakan kata tidak baku dalam diksi-diksinya. Kata seperti lembab yang seharusnya lembapdawu yang seharusnya dawuhsarun yang adalah saron. Saya juga tidak menemukan kata gemeletar di Kamus BesarKata yang mendekati barangkali adalah gemeletak. Selain itu, saya juga menemukan ketidakkonsistenan penyair dalam menulis kata nafas. Pada beberapa puisi, penyair menulis nafas yang kemudian menjadi napas pada puisi lain. Kemudian, saya juga menemukan kesalahan ketik yang cukup mengganggu pada puisi Zikir Sunyi dan Nama (114). Kata sunyi yang mestinya menjadi salah satu senjata utama dalam puisi tersebut justru tertulis sunya pada baris sembilan (penyair sudah mengkonfirmasi bahwa sunya merupakan bagian dari lisensi puitik miliknya, alias bukan typo).

Di samping penggunaan kata dan kesalahan ketik, penyair juga menggunakan tanda elipsis secara tidak konsisten. Titik pada elipsis di akhir kalimat umumnya berjumlah empat (….), tetapi pada puisi Masa Muda dan Bergaya (132) penyair hanya menggunakan tiga tanda titik (…) yang menurut PUEBI hanya berlaku di tengah serta awal kalimat. Penyair menggunakan elipsis dengan 4 titik hanya pada bait pertama:

Boleh dong pinjam bulpennya
Buat apa? Buat nulis namamu
di hatiku! Anjiiiir ….

Sedangkan di bait-bait berikutnya, penyair menggunakan elipsis tiga titik, seperti:

Anjir, melownya…

Ohoy, makin bergaya…

Ihhh tinggi banget…

Bahkan dalam puisi Bilangan dan Huruf (127) penyair hanya menggunakan dua titik sebelum kata ah

Enamenam kali bel berbunyi
Sembilan dua purnama
menyinari
dulapan kali hidupku
silih berganti: mm.. Ah!

Mungkin saya salah menafsirkan penggunaan elipsis pada dua puisi tersebut dan barangkali penyair memiliki interpretasi atau nama lain dari titik-titik tersebut. Dan, tanpa bermaksud mengurangi kebebasan seseorang dalam menciptakan karya puisi, alangkah baiknya jika kita tetap menggunakan kaidah bahasa yang benar selagi hal itu tidak mengurangi makna yang ingin disampaikan serta tidak menguragi nilai-nilai estetis yang ingin ditampilkan.**

Syahrul Chelsky : penulis aktif berkomunitas di Arkalitera. Kadang-kadang menulis puisi, kadang-kadang menulis cerpen, kadang-kadang tidak menulis apa-apa. Seorang pekerja sosial, penulis konten media sosial, dan penerjemah amatir yang dapat dijumpai di banyak jejaring dengan nama pengguna @syahrulchelsky

0 Komentar