Ini memang sedikit memalukan dan kurang ajar: ketika kami akhirnya memustukan buku pertama yang akan kami ulas secara keroyokan adalah Jalan-jalan, Senang-senang, Mati Menjemput Abajada milik Hajriansyah, jauh dalam diri saya sempat berprasangka buruk bahwa: buku ini barangkali, secara tema, tak begitu jauh juga dengan buku kumpulan cerpen pertamanya, Kisah-kisah yang Menyelamatkan, antologi cerpen penulis Kalimantan Selatan yang saya beli di Aruh Sastra Tanah Laut tahun 2016 silam. Waktu itu bocah belaka — jika hari ini saya masih bocah maka jelaslah berarti waktu itu saya lebih bocah dari bocah. Saya yang waktu itu belum menulis sebiji zarah pun bertanya pada seorang yang kemudian hari menjadi mentor pertama saya menulis, Harie Insani Putra, mana buku yang cocok untuk saya beli biar saya bisa belajar menulis cerpen yang baik? Dia, dengan keyakinan yang bulat, menyarankan saya membeli buku tersebut. Pulang dari sana saya membacanya dan — bagaimana, ya, saya harus mengatakannya biar tak terkesan congkak — tidak begitu menyukainya.
Tujuh tahun kemudian, saya diharuskan untuk mengulas satu cerpennya, Tersungkur di Ladang Sawit, dan prasangka seperti: mungkin terlalu berat dengan beban lokalitas-mistis, atau dipenuhi eksplorasi dunia metafisis yang sukar dipahami manusia macam saya bermunculan kembali. Tapi, saya tahu dan sadar betul, prasangka itu kelewat memalukan dan kurang ajar ketika saya membaca cerpen tersebut.
Tersungkur di Ladang Sawit jelas menjadi titik jatuh cinta (yang datang terlambat) saya pada Hajriansyah, secara umum cerpen ini bercerita tentang pengkhianatan serta kesalahpahaman masyarakat dan pambakal akibat permainan orang-orang tambang sawit. Pada suatu malam yang gemuruh, Hasan tiba-tiba datang ke rumah Sulayman, sang narator, dan mengabarkan bahwa Kai Man menyerang Pambakal Idrus karena mengira cucunya, Rusman, babak belur sebab ulah Pambakal. Keyakinan Kai Man ini datang sebab tahu belaka, bahwa cucunya, Rusman, orang yang terus menolak adanya perkebunan sawit di kampung seringkali dicegat pambakal dan dua preman kepercayaannya. Lalu anak itu babak belur, siapa lagi yang layak dicurigai? Nahas, Kai Man, saat adu kekuatan dengan Pambakal, kalah tersungkur. Keributan terjadi. Pelaku sebenarnya dari kekacuan “kecil” ini kita ketahui pada paragraf-paragraf akhir yang datang secara mengejutkan setelah sebelumnya kita dibawa Hajriansyah flashback ke cerita tentang tawaran tambang sawit untuk mensejahterakan masyarakat dan kampung jika mereka menjual tanahnya untuk dijadikan lahan.
Ya, harus saya akui bahwa tema lingkungan adalah alasan paling kuat mengapa saya suka pada cerpen ini, dan beberapa alasan lainnya saya kira sebagai berikut: (1) saya suka dialog antar karakter yang cukup dekat dengan bahasa tutur-kesaharian, ini jauh lebih bisa dinikmati daripada dialog-dialog dalam Kisah-kisah yang Menyelamatkan, (2) saya suka bagaimana Hajriansyah memperlakukan karakter pambakal sebagai seorang penguasa yang kemudian memilih untuk berada di sisi masyarakat — saya berharap Pambakal Rantau Bakula, tempat tinggal saya, adalah Pambakal Idrus, sungguh, (3) Banyaknya tokoh yang dimainkan penulis dalam cerita pendek ini sedikit menganggu, namun saya kira pada akhirnya ia bisa menyelesaikan cerita ini dengan sedikitnya ruang bergerak bagi beberapa tokoh yang lain tanpa harus membuatnya seperti karakter dungu yang cuma timbul untuk mengucapkan hal tak penting lalu ditinggal pergi.
Untuk menutup catatan pembacaan singkat ini, mumpung sekarang masih bulan Januari dan Kalimantan Selatan masih direpotkan dengan perkara banjir yang sewaktu-waktu datang tanpa peringatan, saya ingin mengutip kalimat akhir cerpen Tersungkur di Ladang Sawit sebagai peringatan pada kita semua: “…Segeralah pulang setelah menyelesaikan urusan orang-orang mati ini, aku khawatir hujan deras tadi malam jadi banjir bandang malam ini. Kau lihat, tanah, ladang dan hutan, sudah tak lagi menyerap dan membendung hujan.”[]
Rafii Syihab, belum punya buku tunggal, jarang ikut antologi bersama, lebih sering ngedesain dibanding nulis. Tahun depan katanya novel debutnya selesai!

0 Komentar