Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

Upaya Kecil Menafsir Kesederhanaan Gio Pratama

 


Puisi merupakan bentuk karya sastra yang memiliki kompleksitas tersendiri. Mulai dari pengertian, bentuk, dan ragam yang berubah-ubah seiring perkembangan zaman. Puisi yang ditulis oleh seseorang di masa sekarang, tidak selalu terhubung dengan selera pembaca di masa yang sama. Namun, bisa saja puisi tersebut memiliki relasi di masa-masa yang lain, pun sebaliknya.

Dewasa ini, puisi modern dengan baris non-metrik dan tidak berima cukup banyak disukai oleh khayalak, terlebih para milenial yang sering berkutat dengan media sosial. Umumnya, puisi-puisi ini banyak bertebaran di internet. Puisi yang juga tergolong sebagai syair bebas tersebut cukup ringan untuk dibaca, dan tidak jarang hanya terdiri dari satu bait. Puisi sejenis ini biasanya mengandalkan kekuatan kata-kata dari baris pertama hingga baris penutup. Kepadatan isi tersebut mungkin menjadi salah satu alasan yang membawa puisi modern cukup mudah untuk diterima.

Buku kumpulan puisi Inilah Kesederhanaan Itu karya penyair muda Kalimantan Selatan, Anugrah Gio Pratama hadir di tengah kabut dunia sastra Banua dan menawarkan beberapa buah puisi modern yang layak untuk dibahas. Lelaki kelahiran Lamongan 22 tahun silam itu membawa sudut pandang seorang milenial yang memosisikan diri di tengah-tengah para penyintas. Rampaian puisi yang terhimpun dalam 62 halaman ini terbilang cukup segar dan bisa memberi warna baru dalam dunia kepenulisan puisi di Kalimantan Selatan.

Dalam buku terbitan September 2021 ini, Gio-saya lebih suka menulis namanya demikian-cukup berani mengusung tema kehidupan penyintas di tengah modernisasi, di saat lebih banyak penyair muda seusianya bermain di zona nyaman, seperti bermain dengan tema cinta dan patah hati.

Gio membagi kumpulannya dalam tiga bagian yang masing-masing mempunyai kekuatan tersendiri. Bagian-bagian dalam Inilah Kesederhanaan Itu tidak diberi judul. Setiap bab hanya diberi angka romawi di tengah halaman sebagai pemisah tema. Pada bagian pertama (I), Gio menekankan puisinya sebagai perayaan kehilangan. Beberapa syair pendeknya terasa tidak asing di ingatan saya. Seperti yang tertuang dalam Bagian dari Rindu dan Semakin Malam, mereka berbunyi:

“Sebagian rindu adalah masa lalu
yang membuat kita ingin pulang
ke masa depan.”
 (Hal. 13)

“Ketika malam semakin malam,
maka pagi ‘kan jadi nyata.”
 (Hal. 17)

Penuturannya yang sederhana dan ringan dari Gio mengingatkan saya pada tulisan-tulisan Chohye Youn, baik dalam buku But I Still Love You, maupun For the Never Ending Moment yang menggambarkan kerinduan penulis sekaligus illustrator dengan nama pena Coniglio itu pada masa kecilnya, juga kegelisahannya pada masa-masa akan datang yang dipenuhi ketidakpastian.

Gaya berpuisi Gio yang lugas juga tercatat pada dua puisi yang cukup panjang dalam Ketika Hujan Belum Turun dan Dedaunan Gugur. Realisme yang terekam dalam penginderaannya sebagai orang pertama cukup berhasil membawa pembaca memahami kelindan perasaannya; kegelisahan dan kehilangan. Sebagaimana yang tertuang dalam dua potong larik berikut:

“Di langit,
awan menghitam:
air belum turun
dan entah kapan ia akan turun.”


… (Hal. 15)

Daun-daun gugur.
Pepohonan tak pernah memintanya
untuk kembali


… (Hal. 21)

Bagian pertama dalam buku ini ditutup oleh puisi yang berjudul Kehidupan. Pada puisi yang terdiri dari lima baris ini, Gio mencoba bermain dengan kalimat-kalimat ambigu yang bisa ditafsirkan berbeda-beda oleh pembaca. Ambiguitas dalam sastra sendiri bisa menjadi pisau bermata dua: keindahan, atau kesalahan persepsi.

“Jantungku tak dapat melihat.
Mataku tak dapat bicara.
Mulutku tak dapat mendengar.
Tapi tubuhku masih sanggup meraba!
Dan inilah kehidupan. Kehidupan.” 
(Hal. 23)

Bagian kedua (II) buku antologi terbitan G Pustaka ini membawa tema kesenjangan hidup sebagai pokok kegelisahan. Pada satu tulisan, Gio menempatkan ke-akuannya sebagai titik derita seorang penyintas hidup di tengah hiruk-pikuk kemewahan seperti yang tertuang dalam Ikan Asin.

“Apakah manusia yang kaya,
yang suka makan ikan tuna,
suka pula makan ikan asin?

Apakah ikan asin itu lauk favorit
atau lauk yang terpaksa jadi menu favorit?“
 (Hal.27)

Sementara dalam tulisan yang lain, ia lebih menempatkan diri sebagai orang ketiga atau sosok netral yang bisa menjadi siapa saja.

“Nasi aking: hidangan terpaksa di atas meja.
Orang malang meratapi nasibnya
dan mau tak mau menerimanya.”

Nasi Aking (Hal. 28)

“Kesederhanaan telah bersatu
ke dalam potongan tempe yang gurih.”
Perihal Sesuatu yang Sederhana (Hal. 29)

Beberapa puisi gubahan Gio dalam bagian kedua ini agaknya mengarah ke Sastra Hizib yang menonjolkan keadaan, kejujuran, dan ketidarekayasaan. Situasi yang pahit dalam karya Gio di sini menjadi kekuatan tersendiri karena akan memberi pengalaman getir dan pilu bagi pembacanya.

Dalam puisi Inilah Kesederhanaan Itu yang juga menjadi judul bagi buku ini, Hey, dan Bagaimana, Gio mengajak pembaca untuk merenung dan bersyukur.

“Inilah kesederhanaan itu:
seorang ibu memecah sebutir telur,
menggorengnya dengan kasih sayang,
membaginya menjadi beberapa bagian,
dan anaknya, yang jumlahnya lima,
menikmati masakan sang ibu dengan lapang dada.

Inilah kesederhanaan itu!”

Inilah Kesederhanaan Itu (Hal. 35)

“Hey, Sobat!
Benarkah roti, selai, dan susu itu
selalu terhidang di meja orang kaya
ketika mereka sarapan?

Hey, Sobat!
Orang tak punya
biasa menghidangkan apa
ketika sarapan?”

Hey (Hal. 45)

Yang tak sanggup makan wagyu A5.
Bagaimana nasibnya?

Yang tak sanggup makan kaviar.
Bagaimana hidupnya?

Bagaimana (Hal. 46)

Bagi saya, puisi-puisi ini sangat sederhana, tetapi dalam kesederhanaan puisi inilah saya bisa menemukan alasan kenapa Gio memberi judul buku puisi ini “Inilah Kesederhanaan Itu”. Gio menyimbolkan benda-benda seperti roti, selai, susu, wagyu, dan kaviar sebagai bagian dunia yang selalu di atas. Berbanding terbalik dengan sebuah telur dadar yang harus dibagi lima. Sebuah ketimpangan.

Beralih ke bagian ketiga (III) dari buku kumpulan puisi ini, Gio membawa jauh imajinasi serta pengalamannya ke dalam tema perjuangan hidup di tengah gaduhnya perang. Tema ini umumnya dibawa oleh penyair Timur Tengah seperti Fadwa Tuqan, Samih al-Qasim, dan Mahmoud Darwish dari Palestina yang menginginkan kebebasan dan kemerdekaan atas pendudukan penjajah.

Berbeda dari bab-bab sebelumnya, kumpulan puisi di bagian ketiga ini berjumlah lebih sedikit, yakni hanya tiga buah puisi yang masing-masing berjudul Sajak Singkat Ihwal Perang, Jika Bom Jatuh, dan Di Tanah Syam. Dalam puisi-puisi ini, Gio adalah seorang pengamat yang mengisahkan ulang suatu peristiwa dengan cukup jeli, meskipun ditulis hanya dalam beberapa kata.

Ketika seseorang yang berasal dari daerah yang sama dengan saya menerbitkan buku, saya merasa cukup antusias dan penasaran; apa yang bisa ia tawarkan?

Buku antologi tunggal Gio ini sedikit banyak memberikan gambaran bahwa ia adalah salah satu penyair muda potensial dari Kalimantan Selatan yang perlu diberi perhatian. Kelugasannya dalam bertutur, serta kejujurannya dalam menyampaikan sesuatu, Gio dapat menjadikan dua hal tersebut sebagai senjata utama dalam karya-karyanya.

Saya mencatat sedikit penyesalan terhadap buku ini, mengingat Gio tidak menerbitkannya secara cetak. Terus terang, buku ini cukup berpotensi sebagai karya antologi tunggal. Dengan penambahan beberapa puisi baru agar buku ini tidak terlalu tipis, serta sedikit perubahan pada tata letak, daftar isi, dan penomoran halaman, kumpulan ini bisa naik cetak untuk didistribusikan dengan harga yang layak dan sepadan.

PS. buku Gio Pratama bisa dibaca gratis dengan mengklik tautan berikut : Inilah Kesederhanaan Itu

Syahrul Chelsky, penulis aktif berkomunitas di Arkalitera. Kadang-kadang menulis puisi, kadang-kadang menulis cerpen, kadang-kadang tidak menulis apa-apa. Seorang pekerja sosial, penulis konten media sosial, dan penerjemah amatir yang dapat dijumpai di banyak jejaring dengan nama pengguna @syahrulchelsky

0 Komentar