Sabtu sore di Siring Piere Tendean, kota bergerak cepat, setiap orang adalah adegan; langkah riuh tergesa-gesa. Saya berada di satu adegan sama — betapapun sore itu saya merasa serupa penonton di sudut sebuah bioskop — merumuskan segala dan mencoba mencari kesenangan dengan menunjukkan bahwa manusia toh bisa berbahagia dalam bermacam cara.
Saya memandang ke kejauhan dan mendapati sederet buku tersusun tanpa alas tepat di sebelah Rumah Anno 1925. Mulanya saya mengira itu adalah lapo jualan buku murah, tapi saat melihatnya lebih teliti, saya melihat sebuah kain hitam panjang di belakangnya bertuliskan Perpus Jalanan BJM. Sepersekian detik setelahnya saya meralat dugaan dan datang ke tempat tersebut.

Setibanya di sana, saya mengamati sepintas lalu judul-judul yang ada, mengambil satu-dua buku untuk meletakkannya kembali seperti anak kecil yang kemaruk permen di toko kelontong. Hari di mana saya menulis catatan ini, saya membayangkan saat itu pasti mata saya berbinar-binar, dengan air muka riang tak tergambarkan— yah, manusia bisa berbahagia dalam bermacam cara, toh?
Namun, alih-alih melarutkan diri ke dalam bacaan, saya justru memilih untuk berkenalan dengan Qatar, salah satu pengelola Perpus Jalanan BJM, dan melemparkan sederet pertanyaan tentang alasannya membikin perpustakaan jalanan ini — setelah obrolan tak penting lainnya, tentu saja — memangnya tidak cukup, ya, perpustakaan yang ada itu?
“Lewat Perpus Jalanan ini,” jawab Qatar, “Kami mencoba membawa dan mengenalkan konsep baru pada masyarakat; bahwa perpustakaan bukan tempat yang identik dengan suasana kaku, sepi, dan tenang, namun tempat Anda bisa membaca sambil ngopi ataupun jumpalitan.”
Qatar dan ketiga rekannnya mengelola Perpus Jalanan BJM sejak 2019, meski baru di awal tahun berikutnya mereka mulai melapak. Perpustakaan ini terbentuk atas kegelisahan mereka yang meyakini bahwa sebenarnya masyarakat bukan kekurangan wadah literasi, namun hanya kekurangan wadah yang bisa menampung semua orang — segala kalangan — dengan nyaman dan bebas membaca.
“Jika mengambil contoh di perpus kota, kita masuk mesti memakai tanda pengenal, tidak boleh merokok dan makan dan syarat-syarat lainnya. Kalo di sini bebas, siapapun boleh membaca. Fokus kami sih memang orang-orang jalanan yang terpinggirkan.”

Untuk koleksi bukunya, di Perpus Jalanan BJM tersedia beragam jenis bacaan, mulai novel, puisi, nonfiksi, filsafat hingga jenis buku berhaluan “kiri” — yang mungkin tak lolos perpustakaan kota. Beberapa buku yang tersedia merupakan koleksi pribadi, dan sebagian lainnya sumbangan buku dari donatur serta teman-teman mereka. Untuk jumlah keseluruhan buku, Qatar bilang mereka tidak menghitungnya, tapi bisa dipastikan tak sedikit.
“Donasi buku, sih, akan terus terbuka kalau ada yang mau memberi,” ucapnya.
Dari Qatar pula saya tahu, kalau kebanyakan pembaca justru pedagang di sekitar kawasan mereka melapak — dan bukan pengunjung Siring Piere Tendean.
“Meski partisipasi masyarakat umum masih sangat kurang, kami akan terus melapak,” kata Qatar, “Inilah bentuk atas keresahan saya dan teman-teman, urusan ada yang membaca atau tidak — itu lain hal.”
Benar pula. Soal ada tidaknya yang membaca buku yang mereka sediakan, itu perkara lain. Tapi kita, atau barangkali cuma saya, setidaknya tahu, gerakan ini lebih dari sekadar tempat membaca dan usaha meningkatkan standar literasi di Banjarmasin, namun juga menjadi pusat komunitas — tempat bertemu orang-orang baru, bertukar cakap tentang buku atau sungai atau bahkan polah seekor kucing oren yang kian random.
Udah, gitu aja. Pokoknya sesempatnya datang, deh, ke Perpus Jalanan BJM ini. Siapa tahu kita bisa bertemu, yakan?
*Fati Arsa, penulis aktif belajar dan berkegiatan di komunitas Arkalitera.

0 Komentar