PARAFRASE BUAT SEORANG PUJANGGA
Bakar kata-kata di atas tumpukan abumu
Buang kesedihan ke lautan metafora, baca kembali kematian
Menyemai benih hujan ke sumsum tulang
Rapuh menyusun ingatan tentang pulang
Datangkan kutuk Chairil
Dari kubur seribu tahunnya
Di Karet, Di Karet,
Tanah penghabisan bagi deru kata-kata
Bawakan padaku kutuk itu
Bakal kutanam ia di jeram dada
Akan kujadikan ia nyanyian
Bagi malam-malam yang terbentang panjang
Kita tenun benang-benang kata
Antara kutuk seribu tahun Chairil
Dan kematian yang bersenandung dari jantung makam
Tak perlu ada ketakutan yang menggigil
Sebab malam alangkah lirih
Menguntai larik lagu yang piatu!
Surabaya, Desember 2021
KEPADA INGATAN YANG BERKIRAB
Hanguslah kitab yang menjadi madah berkirab para pujangga
Ditanak makna yang repih mengulang doa. Kalam terbuka dan menoreh jejak luka
Bayangkan dunia yang menyala beriring unggun api, kalimat-kalimat memilih durhaka
Pada waktu, duri yang memecah merah ke seluruh arah. Tubuhmu dipahat di tugu batu
Menjelma tafsir baru bagi anak-cucu, mendadak jenaka di hari minggu.
Dalam segenap genggaman, masih utuh kueja namamu,
Pintu bagi kenangan yang menghilir ke dalam degup darah
Suara-suara berdatangan ke dalam diriku, entah mengucap doa-doa atau patahan mantra
Malam terus menyala di luar kita, beriring unggun api. Kalimat-kalimat memilih durhaka
Pada waktu, kenangan yang memecah merah ke seluruh arah. Tubuhmu dipahat di tugu batu
Menjelma tafsir baru bagi anak cucu, mendadak jenaka di awal minggu yang wagu.
Dalam genggamanku masih utuh tersimpan namamu,
Pintu bagi kenangan yang menghilir ke dalam degup darah
Mengingat bayangan tubuhmu yang lesap di antara kitab-kitab separuh terbakar,
Berkirab dengan jubah kesunyian, hantui aku yang masih kerap terkenang-kenang jalan pulang
Sebentuk doa yang kau ujarkan, pitutur bibir yang manjur mendedah berbagai kesialan
Surabaya, Desember 2021
KALEIDOSKOP AKHIR TAHUN
Puisi-puisi memajang tubuh Joko di etalase koran minggu
Tentu saja ia sangat gembira, semakin khusyuk jemarinya
Menyusun deret metafora. Sastrawan ibukota memuji namanya
Di mana-mana. Mereka beranggapan bahwa Joko telah layak menerima
Gelar penyair adiluhung, sebab puisi-puisi yang ia karang telah melambung
Ke kolong jagat, menjelma petuah bijaksana bagi manusia keranjingan cinta
Di minggu biru, Joko keluar dari etalase koran minggu
Sejenak diteleponnya kekasih idaman dengan gawai keluaran terbaru
“sayangku, sudah waktunya kita membucin, sebelum akhir tahun
menculik waktumu dan aku kembali terpajang dalam tubuh koran minggu
bersama puisi-puisi yang terus berlahiran dari relung kepala”
Kali lain, Joko ingin sejenak pulang ke pangkuan kampung halaman
Menjenguk masa kecilnya yang berenang dengan gembira di sebuah tegalan
Dalam jiwanya yang kerap dihantui berbagai imaji,
Joko kerap pula berhalusinasi
Melihat bayangan ibunya yang tertatih-tatih
Menenun benang kehidupan
“duh, ibuku sayang, hidup ini kian bangkotan saja ya?
kesunyian terus merayapi sekujur badan
Memanggil-manggil hantu pembawa demam!”
Surabaya, Desember 2021
PROLOG PERCAKAPAN DINIHARI
Ingin kudengar kembali nyanyianmu yang berulang
Mengantar dinihari, suburlah benih-benih puisi.
Kau bilang itulah tanda percakapan paling intim
Berbuah kalimat yang basah dirajah doa.
Kutuliskan berbagai suara dari relung pikiran
Ketika bulan meninggalkan bisik ke dalam dada
“rabalah ia, kekasih yang menulis bait-bait melankolia
mendamba kehangatan api, antara kalimat-kalimat rekah
dirajah doa dinihari”
Kupeluk kesepianmu, meski malam telanjur hingar
Bulan menebar bisik antara sepasang lenguh beradu
Cinta menyala serupa kemaruk api
Membacakan bait-bait Rumi
Malam pun bercumbu
Menulis lenguhan. Sepotong bulan gugur
Di luar jendela. Membisikkan hasrat
Yang terus menggoda. Malam masih hingar
Dimabukkan bait-bait Rumi
Berkelakar dengan lelucon lama
“rabalah ia, kekasih yang menulis bait-bait melankolia
sepi yang terjemurus dalam perangkap puitika!”
Surabaya, November 2021
SEBUAH KOTA DARI RAHIM API
Kau bertamu
Ketika segenap doa luruh
Ke dalam tungku perapian
Sebuah kota terlahir dari rahim api
Di dalamnya, seorang penyair
Bermukim dengan tenung kata-kata
Dalam bayangannya, seorang perempuan
Lahir dari kesunyian tulang rusuk seniman jalanan
Diiringi mantra seribu tahun milik Chairil
Adakala ia bayangkan juga sebuah minggu berdua
Di taman kota, membacakan dongeng-dongeng
Tentang muasal kehidupan
Ia ujarkan sebuah sajak
Yang dirakit dari kisah lama
Adam-Hawa
Jika sorga mengada karena kata
Menyala dari bibir Tuhan
Maka tetapkanlah sebuah sorga
Bagi perjumpaan kita
Tapi jangan kau bayangkan
Ada buah kehidupan
Yang melempar kita
Ke dalam lembah kenikmatan
Bisa-bisa bakal lampus termakan bujuk rayuan!
Surabaya, Desember 2021
Muhammad Daffa, penyair kelahiran Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 1999. Menulis puisi sejak pertengahan tahun 2015-sekarang. Puisi-puisinya tersiar di Koran Tempo, Majalah Mata Puisi, Majalah Sastra Kandaga, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, asyikasyik.com, suarabanyumas.com, lensasastra.id, dan Harian Rakyat Sultra. Ia bergiat di Kelas Puisi Bekasi(KPB). Telah menerbitkan buku puisi tunggal, yakni Talkin(2017) dan Suara Tanah Asal(2018). Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa aktif di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya.

0 Komentar