Sebuah komunitas yang berfokus pada gerakan literasi dan penulis-penulis muda Kalimantan Selatan.

Hilangnya Kubah Masjid: Religius Sosial dan Usaha Lebih Baik




“Keesokan harinya masyarakat menjadi gempar dengan kehadiran anjing itu. Banyak orang mendatangi masjid untuk melihat anjing itu secara langsung. Suasana menjadi ramai. Berbagai macam praduga bermunculan, mulai dari anjing jadi-jadian hingga anjing pembawa kabar buruk.” Muhammad Noor Fadillah, Anjing Peliharaan Masjid.

Pada mulanya, ia menerbitkan kumpulan cerpen pertamanya “Surat dari Saranjana” di tahun 2019 demi sekadar memenuhi keinginan dan semangat umum calon penulis: membuat buku.

Pada masa-masa setelahnya, ia membaca ulang naskah dan merasa masih banyak kekurangan, kemudian menebusnya dengan menerbitkan buku kedua yang selanjutnya akan dibicarakan dalam tulisan ini. “Walau masih jauh dari sempurna, tapi setidaknya lebih baik yang saya hasilkan dibanding sebelumnya,” katanya.

Muhammad Noor Fadhillah, pemuda asal Barito Kuala, kelahiran 98 tersebut telah menerbitkan dua buku kumpulan cerpen. Pertama, bukunya yang belakangan disebut, dan kedua “Hilangnya Kubah Masjid” di tahun 2020 kemarin yang termaktub 10 cerpen.

Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat itu seringkali mendapat ide-ide menulis cerpen dari hal-hal yang berpusar di sekitarnya. Semisal, tatkala melewati jalan yang ada orang meminta-minta sumbangan untuk pembangunan masjid, maka itu bisa menjadi inspirasi baginya untuk menulis cerpen.

“Ada juga yang terinspirasi dari kas masjid yang sangat banyak, sementara masih banyak orang miskin di sekitarnya.”

Sebagian besar cerpen sudah selesai ditulis sekira tahun 2016; beberapa ide kasar masih setengah jadi. Keinginan untuk menerbitkan kemudian muncul serupa tulah: dibaca ulang dan diedit semampunya.

Bila menyebut satu tema besar yang terkandung di buku terbarunya — sebagaimana ia tuliskan dalam pengantar — sebagai tema yang cukup menantang, yaitu religius sosial. Ini membuatnya tidak lebih leluasa mengeksplorasi ide cerita.

Sebut saja salah satu cerpennya yang bercerita tentang perjuangan pengurus masjid dan beberapa masyarakat setempat yang menolak rencana pembangunan Tempat Pembuangan Sampah di dekat masjid. Mereka berjuang semampunya. Tetapi akhirnya gagal sebab kalah jumlah dan kuasa. Proyek itu berhasil dibangun, dan tentu saja, berdampak pada masyarakat di sana.

Munof — panggilan akrabnya — mengaku terinspirasi dari cerpen AA Navis, namun beberapa nama penulis lainnya juga ia favoritkan, di antaranya: Eka Kurniawan, Yanusa Nugroho, serta Benny Arnas.

Dan serupa nama-nama besar yang tadi disebut, ia tak sekedar mampat menulis cerpen saja, tapi juga novel. Perihal itu telah ia pancang di antara rencana-rencana (yang mungkin mesti diselesaikan sebelum tua dan mati) dalam hidupnya.

Buku kumpulan cerpennya bisa dibeli dengan menghubunginya secara pribadi, atau DM IG: @munof_. Di akun IG tersebut pula, ia kerap membagikan tips dan pengalaman terkait kepenulisan, jadi bila hendak mengenalnya atau belajar cara menulis dan masalah yang mengikutinya, bisa segera follow. Boleh jadi diikuti balik. Orangnya ramah kok. 

0 Komentar